Iya, Kamu, Pusat Duniaku

3.2K 174 4
                                    

Dan disinilah kita.. di café dekat sekolah kami yang dulu, tempat  kita biasa bertemu. Saling menatap penuh perhitungan, mengukur amarah masing masing. Kamu mendesah pelan seraya mengacak rambut hitam pekatmu yang terlihat lembut, dan gerakan itu –sialnya-, masih terlihat seksi di mataku yang berselimutkan amarah. Kemeja kotak kebanggaanmu terlihat berantakan, menjelaskan betapa sibuknya kamu hari ini.

"Apa lagi kali ini?", tanyanya lelah. Nada lelah yang membuat emosiku semakin naik ke permukaan.

"Tanyakan itu pada dirimu. Apa yang kamu lakukan hari ini.", balasku datar. Dia menghela nafasnya pelan seraya meminum green tea latte di hadapannya.

"Aku hanya mengerjakan tugas kelompokku, demi Tuhan, dan dosen killer itu sialnya memasangkanku dengan perempuan itu. Tidakkah kamu mengerti?", jelasnya. Aku menahan sesak di hati.

"Bukankah tugas kelompok itu sudah selesai dari kemarin? Mengapa masih bertemu? Dan mengapa di apartemen kamu?", teriakku, mulai kehilangan topeng datarku. Dia terdiam sejenak, berusaha mencari alibi, tentu. Tak lama kedua mata almond kecoklatan itu menatapku tajam. Ya, tatapan itu. Tatapan seolah dia berkuasa atasku. Tatapan bahwa aku tidak berhak menentangnya. Aku membenci tatapan itu, sekaligus mengaguminya.

"Tidakkah kamu mengerti?! Aku dan dia hanya teman! Tidak bolehkah aku berteman dengan perempuan? Apa menjalin hubungan denganmu berarti aku harus memusuhi perempuan selain kamu? Iya?", dia membalas kemarahanku dengan sangat baik. Kedua tanganku yang berada di pangkuanku mulai terkepal. Mataku memanas, sebisa mungkin menjaga harga diriku di depan lelaki ini. Sudah cukup aku menjadi wanita cengeng yang hanya bisa menangis. Belum berhasil mengendalikan diriku sepenuhnya, dia melanjutkan kemarahannya.

"Aku selalu mengusahakan menjadi yang terbaik untuk kamu. Sahabat yang baik, pacar yang baik. Aku berusaha berubah untuk kamu. Tapi apa yang aku dapat? Kemarahanmu setiap saat? Marah hanya untuk hal hal sepele yang aku tak mengerti. I'm on my way untuk berubah menjadi yang kamu mau, tapi kamu ga pernah kasih pengertian". Butiran kristal bening mulai berjatuhan tanpa sempat ku tahan. Dan sialnya, semakin berjatuhan saat dia dengan tenangnya hanya menatapku tanpa berusaha menghapus air mataku seperti yang dia lakukan, dulu.

"Tidak cukupkah hanya aku?", tanyaku dengan suara bergetar. Aku bisa saja segera meminta maaf dan memakluminya, seperti biasa. Namun aku ingin tau sejauh apa ia bisa mengelak dariku. Pria itu terdiam. Dari wajahnya aku tau, dia berpikir keras. Entah apa yang dia pikirkan. Saat aku mulai sibuk dengan pikiranku, ia kembali membuka pembicaraan.

"5 tahun.. 5 tahun kita bersama. Dan indahnya hanya 2 tahun di awal", katanya pelan, matanya terarah ke bawah meja, enggan menatapku. Hatiku teremas sakit. Benarkah? Dari10 tahun persahabatan kami, dan 5 tahun sejak kami memilih menjadi sepasang kekasih, hanya 2 tahun kebahagiaan yang ia rasakan? Lantas, 3 tahun ini apa? Siapa aku di matanya? Siapa dia? Dia bukan dia yang ku kenal. Bukan dia yang kucinta. Seakan belum puas mengoyak hatiku, ia melanjutkan.

"Aku berusaha pertahanin hubungan ini, percayalah. Tapi nyatanya kita ga saling melengkapi. Aku air dan kamu minyak. Aku bensin, dan kamu menjadi apinya. Tiap ada kesempatan kamu terkesan mencari masalah denganku. Dan tampaknya, perasaanku padamu perlahan terkikis dari pertengkaran pertengkaran yang entah sudah ribuan kali kita lewati". Ia tertawa hambar. Sementara aku semakin tersedak dengan air mataku. Perasaannya padaku sudah menghilang? Sejak kapan? Tampaknya aku benar benar sendiri di dunia ini sekarang.

"Kita berpisah saja. Mungkin, keputusan kita untuk menjadi sepasang kekasih adalah kesalahan terbesar kita.", finalnya. Aku menatapnya terkejut. Pisah? Sanggupkah? Setelah 10 tahun ia menemaniku? Menyelamatkanku dari kesendirian? Menghiburku saat aku kehilangan semua keluargaku? Apa pria yang duduk di hadapanku adalah pria yang sama 10 tahun lalu?

Jika itu maunya, baiklah, akan aku kabulkan. Aku tidak seegois itu bukan? Dengan segenap kekuatan dan harga diri yang tersisa, aku menatap matanya.

"Kenapa aku takut saat kamu mulai dekat dengan dia dan mengabaikan aku, dengan kedok teman? Karena kitapun bermula dari teman. Tidak ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan", kataku pelan. Tiap kata yang kuucapkan seolah menambah rasa sakit dihatiku. Dia menatapku terkejut, seolah ingin berkata sesuatu, namun tangan kananku terangkat, memberi isyarat baginya untuk diam.

"Kamu...", aku menelan ludah susah payah, berusaha melanjutkan perkataanku yang pastinya akan merubah hidupku setelah ini. Merubah hubungan kami berdua. Aku sudah lelah mempertahankan dia yang ingin pergi.

"Pusat kehidupanku. Hidupku berotasi di kamu. Aku hampir tidak bisa hidup tanpa kamu. Kamu menghiburku. Membahagiakanku. Mengajarkanku cara untuk tertawa dan berjuang. Kamu pusat duniaku yang membangkitkan aku dari keterpurukanku, 10 tahun lalu."

"Tapi aku lupa.. jika kamu pusatku, kamu memiliki kuasa. Bukan hanya untuk membangkitkan, tapi juga menjatuhkanku. Dan tampaknya, tugasmu sudah selesai. Kamu sudah melakukan keduanya".

Sebelum kamu sempat berbicara, aku mengemas handphoneku di atas meja ke dalam ransel yang ku gunakan ke kampus tadi, mengambil beberapa lembar uang dalam dompetku dan meletakkannya di meja. Aku segera berdiri dan bermaksud meninggalkan tempat ini. Berjanji inilah kali terakhir aku menginjakkan kaki ku di café yang menjadi saksi bisu kekalahanku akan cinta.

Tiba tiba saja, tanganku digenggam oleh tangan yang kurasa familier. Tangannya. Aku menoleh sedikit ke belakang, dengan tatapan bertanya.

"Maaf.. jangan pergi", katanya pelan. Aku sempat goyah, bermaksud mengurungkan keputusanku untuk pergi. Namun secepat pikiran itu datang, segera ku tepis. Pria ini.. sudah menghancurkan diriku. Jika aku terus bergantung padanya, aku tidak tau berapa kali lagi aku harus jatuh bangun. Membenahi hati dan perasaanku.

Aku melepaskan genggamannya pelan. Meskipun hatiku merasa kehilangan.

"Kamu tau.. kata kata yang telah diucapkan, tidak bisa ditarik kembali. Selamat berbahagia. Dan jangan pernah menyia nyiakan orang yang nanti berada di sampingmu menggantikan aku. Karena waktu yang berlalu akan menjadi kenangan. Jangan pernah meremehkan kebersamaan.". Bertepatan dengan selesainya kalimatku, aku segera pergi, tanpa menoleh ke belakang. Pergi meninggalkan dia. Bukan karena aku berhenti mencintainya. Namun karena cinta mengajarkanku, bahwa tidak semuanya dapat dipaksakan.

Aku, Kamu, KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang