Wonderwall

653 62 0
                                    

Aku menatap tajam pria di hadapanku. Dia baru saja menumpahkan kopinya di kemejaku, menyebabkan kemeja putihku berubah warna menjadi cokelat. Dia menatapku dengan tatapan bersalahnya.

"Maaf, saya benar-benar ga lihat.", katanya.

Aku menghela nafasku kencang. Ingin marah, namun tidak akan membuat perubahan apa-apa. Tiap manusia melakukan kesalahan bukan?

Maka aku mengangguk dan berkata padanya untuk tidak merasa bersalah. Dia bersikeras membelikanku pakaian baru. Lokasi kami memang berada di sebuah coffee shop dalam sebuah mall besar. Karena dia memaksa, maka aku pun mengiyakan. Lagipula, lumayan, aku bisa mendapat baju baru gratis. Hey! Aku hanya mahasiswi rantau yang perlu menghemat. Jangan salahkan kelicikanku ini.

Kami berkeliling menuju department store besar, dan tidak perlu waktu lama untuk menemukan baju yang cocok dengan badanku. Aku bukan tipe pemilih. Juga bukan tipe wanita penyuka fashion. Beruntung pria itu menumpahkan kopinya pada gadis sepertiku. Aku mengucapkan terimakasih, dan kami pun berpisah.

Pertemuan itu tidak menjadi pertemuan terakhir kami. Ternyata, dia dosen baru di kampusku dan mengajar di kelasku. Sejak saat itu, kami sering keluar bersama. Dia dosen yang menyenangkan. Mampu membuat kami, -para mahasiswa-, mengerti dan mendengarkan penjelasannya tanpa rasa bosan. Berdiskusi dengannya menyenangkan, kami membahas isu-isu politik yang sedang mendunia. Dia sangat dewasa, membuatku kagum dia berhasil menjadi dosen di umurnya yang baru 28 tahun.

Setahun kedekatan kami, membuatku tau bahwa dia berasal dari sebuah panti yatim piatu di kota sebelah. Ayahnya meninggalkan dia dan ibunya sejak masih kecil, dan ibunya meninggalkannya di stasiun kereta api saat umurnya 7 tahun. Ia pernah mengamen di jalanan untuk mencari uang, pernah mencuri makanan juga mencopet, hingga sepasang suami istri kaya raya mengadopsinya sebagai anak. Bukannya mendapat kasih sayang yang ia butuhkan, ia ditelantarkan. Secara finansial, dia memang tidak kekurangan. Hanya saja kedua orangtua angkatnya ternyata sangat sibuk, hingga sangat jarang bertemu dengan dia. Membuat dia tumbuh tanpa mengenal apa itu kasih sayang.

Dia diam saat sedang marah. Dia diam saat sedang senang. Dia tidak tau mengekspresikan perasaannya, termasuk cinta. Bahkan dia tidak tau apa itu cinta. Dia buruk dalam menunjukan perhatian-perhatian, hingga menunjukannya dengan cara yang cenderung aneh. Dia sangat menutup diri, -awalnya-, dan sekalinya membuka diri, ia terlalu tergantung padaku. Hal ini membuatku ingin menangis, mengingat pria segagah dia (aku yakin dewa Yunani pun iri melihat ketampanannya), sekuat dia, memiliki hati yang rapuh.

Aku akan mengajarinya apa itu cinta. Aku mencintainya.

**

Saya terdiam melihat kopi yang baru saja saya beli tumpah. Dia sungguh kecil, hingga saya tidak melihatnya saat saya membalikan badan. Dia memandang saya dengan tatapan tajam yang entah terlihat lucu di mata saya, dan saya segera mengucapkan maaf. Dia hanya menghela nafas dan meminta saya untuk tidak merasa bersalah. Namun, sebagai laki-laki, saya harus bertanggung jawab. Saya memaksanya untuk membelikannya baju baru, yang dia iyakan dengan senang hati.

Menurut saya takdir sedang bermain dengan saya. Ternyata dia salah satu murid di kampus tempat saya baru bekerja. Saya mengamatinya. Dia mahasiswi yang cukup aktif di kelas, hanya saja saya melihat dia sering mengantuk. Ekspresinya saat mengantuk, juga kepalanya yang seringkali seperti ingin jatuh saat tertidur, membuat saya mati-matian menahan tawa saya di kelas.

Ternyata, dia sangat cerdas. Kami sering berbincang mengenai isu politik, dan tidak saya sangka cara berpikirnya sungguh kritis dan luas. Ia tidak ragu memberi argument, juga statement yang ia yakini. Bagaimana bisa seorang gadis terlihat seperti anak-anak juga dewasa secara bersamaan? Saya tidak tau.

Baru kali ini saya merasa nyaman berdiskusi dengan seseorang. Saya jarang memiliki teman, saya hanya memiliki koneksi-koneksi yang terhubung dengan bisnis kecil-kecilan saya. Dan ternyata, rasanya tidak buruk untuk berdiskusi. Saya mengagumi bagaimana ia bisa terlihat kesal di suatu waktu, dan di waktu berikutnya ia segera bahagia hanya karena membeli es krim. Juga caranya mengekspresikan segala sesuatu yang bermain di kepala cantiknya. Dia tidak malu saat menginginkan sesuatu, juga tidak ragu-ragu marah jika saya berbuat salah. Dan tanpa sadar, saya nyaman bersamanya.

Dia mengajari saya untuk terbuka. Saya tidak tau kemarahan macam apa yang saya rasakan saat melihatnya dekat dengan pria lain, namun dia berhasil membuat saya mengeluarkan kemarahan itu, meski hanya dengan menghancurkan kaca dan berteriak. Setelahnya, dia memeluk saya, mengelus pelan pipi saya, lalu mengobati luka di tangan saya akibat pecahan kaca, lalu saya tenang seketika. Bagaimana dalam tubuh semungil itu bisa meredakan amarah pria sebesar saya?

Saya tidak tau ini cinta atau bukan. Namun saya akan selalu di sisinya. Saya akan menjaganya.

Aku, Kamu, KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang