Aku tidak tau bagaimana cara menghadapi wanita yang sedang kesal pada pacarnya, sungguh. Sahabatku ini, sangat ekspresif. Jika sedang bertengkar dengan pacar yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya, dia tidak ragu memaki pria itu dengan semua kata kasar yang dikuasainya. Aku, seperti biasa, hanya diam dan menenangkan.
"Gimana bisa tenang! I am his soon-to-be-fiance, masa untuk dapet waktunya sebentar aja ga bisa!", katanya berapi-api. Aku meringis.
"Kan dia cari uang buat nikahan kalian nanti", belaku.
"Impossible, it's still a long way to go there, Ra! Tunangan aja belom. Curiga aku. Selingkuh kali ya dia?"
Aku menahan napasku tanpa sadar.
"Kamu coba bilangin dia dong. Kan kamu sahabatnya. Please Ra.. aku kan perlu perhatian juga", katanya memelas. Jika sudah begini, mau tidak mau aku mengalah. Meski terpaksa. Aku mengangguk mengiyakan.
Semudah itu, sahabatku ini memelukku dan mengucapkan terimakasih berkali-kali lalu mengecup pipiku pelan. Aku sudah seperti saudara perempuan yang tak pernah dimilikinya sejak tahunan lalu. Dia berbagi segala yang bisa dia bagi untukku. Hartanya yang melimpah. Tempat tinggalnya. Kasih sayangnya. Bahkan kasih sayang kedua orangtuanya. Ada kalanya aku merasa seperti parasit dalam hidupnya. Tapi Scarlette selalu marah.
"Parasit apa sih! Kamu itu udah kaya saudara. Anggep aja kamu balas kebaikan aku dengan selalu nemenin aku jadi aku ga kesepian", katanya kala itu.
Scarlette menyayangiku, aku tau itu. Aku sangat tau itu.
__________________
"I miss you". Dia memberi kecupan kecil di seluruh wajahku hingga bahuku, membuatku melenguh pelan.
"I miss you more and most, Ndra", jawabku. Ya, sangat sulit bertemu dengannya. Kami hanya bisa bertemu di sela-sela kesibukan kami, itupun secara sembunyi-sembunyi. Hingga tiap detik kebersamaan kami ini terasa sangat langka dan berharga.
"Sampe kapan Ndra?", tanyaku pelan. Dapat kurasakan priaku menegang, bibirnya berhenti mengecap leherku.
"Sebentar lagi, Ra. Aku mohon, bersabarlah sebentar lagi. Aku sedang mengusahakannya.", katanya lelah. Aku hanya diam. Ini berat bagi kami, aku dan dia.
"Apa dihentikan saja?", lirihku. Terkadang semua ini membuatku lelah. Matanya menatapku nyalang.
"Ga, Ra. Ga! Don't you dare to think about it even just for a second! Enggak!", katanya histeris.
"Tapi.."
"Kamu mau lihat aku gila Ra? Kamu mau lihat aku balik lagi ke obat-obatan itu?!", tanyanya tajam. Aku menggeleng cepat. Tidak. Aku tidak bisa lagi melihatnya menderita seperti dulu.
"I promise you Ra, hari dimana kamu ninggalin aku akan jadi hari kematianku."
Aku diam. Matanya segera menatapku lembut, penuh permintaan maaf.
"Maaf Ra. Maaf. Aku janji ga bawa-bawa kata mati lagi. Maaf. I just need time, dan kamu. Aku gabisa tanpa kamu. Disini terus ya, sama aku." Dia mencium tanganku pelan, sangat takut kehilanganku.
Air mataku menetes. Hatiku sakit melihatnya rapuh, sisi yang hanya diperlihatkan di depanku. Aku mengangguk, mengusap rambutnya dan mencium bibirnya, sebelum menyalakan rokok untuk kami hisap secara bergantian.
Terkadang diperlukan dua orang yang sudah rusak untuk membangun hubungan yang normal.
_______________________
Aku menatap pria yang berbagi selimut denganku. Ketelanjangan kami tidak membuatku rishi. Dengan pelan, ku telusuri wajahnya dengan jariku. Aku sangat suka saat Andra tertidur. Wajahnya damai, seperti tanpa beban. Aku mensyukuri hari aku bertemu dengannya belasan tahun lalu di tempat rehabilitasi. Dialah obatku, seperti aku lah obatnya. Kami tidak memerlukan obat lainnya lagi hanya dengan memiliki satu sama lain. Tiba-tiba saja, Andra membuka matanya.
"Morning, sunshine" katanya seraya mengecup bibirku. Dengan senang hati aku membalasnya.
"Nonton bioskop yuk? Hari ini?", katanya usai ciuman kami. Aku membelalak kaget. Dia gila?!
"Ndra! Gila kamu!". Meski dalam hati aku menginginkannya. Ingin seperti pasangan lainnya yang bisa kemanapun berdua tanpa harus bersembunyi.
"Ra, it's okay. Kita ga mungkin selamanya stuck di sini. Sooner or later, dunia harus tau, you are mine and so I'm yours", katanya.
Dan disinilah kami. Dengan segala bujuk rayunya yang sangat sulit ku tolak, untuk pertama kalinya, kami berdua mengunjungi sebuah mall di kawasan apartment yang khusus Andra beli untuk kami.
"It feels good. To be with you in public. Aku ga merasa tertekan berada di keramaian kalau ada kamu, Ra", bisiknya saat kami sedang mengantri tiket bioskop. Aku merinding, merasakan bibirnya yang sangat dekat dengan telingaku. Gila. Kami seperti remaja dimabuk cinta. Padahal umur kami sudah hampir menyentuh kepala tiga.
"The same goes as well for me, sir", kataku bercanda. Dia mencuri ciuman kilat dari bibirku.
"Sorry, can't control it", katanya saat aku menatapnya tajam. Dia tersenyum. Aku sangat suka senyumnya. Aku rela menukar jiwaku dengan iblis sekalipun asalkan dia bahagia.
Romantisme kami terinterupsi saat menyadari sudah giliran kami untuk memesan tiket. Setelah mendapat tiket film yang kami inginkan, kami duduk di kursi yang sudah disediakan. Mengisi waktu sebelum film tersebut mulai.
"How lucky I am to have you Ra. Gabisa bayangin tanpa kamu disini", katanya lirih. Terkadang dia sangat ketakutan aku akan pergi meninggalkannya. Bodoh. Dia pikir aku bisa hidup tanpanya?
"Sudah belasan tahun, Ndra. Dan aku masih jatuh cinta setiap harinya sama kamu", balasku. Cinta ini begitu menyesakkan. Aku mencintainya hingga sakit. Sakit karena cinta yang begitu meluap untuknya.
Kami berpelukan. Tidak peduli tatapan melecehkan orang di sekitar kami. Toh, kami memang tersisih dari mereka. Teman? Kami tidak punya. Keluarga apa lagi. Kami hanya memiliki satu sama lain. Tiba-tiba saja, ponselku bordering. Hatiku was-was.
"Ndra.. Scarlette Ndra..", kataku panik.
"Halo Scar......"
"I see you", suara Scarlette memotong ucapanku. Suaranya dingin, dingin yang menusuk.
"Lagi pelukan"
Aku hampir pingsan mendengarnya.
"Dengan calon tunanganku".
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, Kita
Short Storycinta banyak bentuknya bukan? mencintai diam diam. mencintai sepenuh hati. mencintai hingga terluka cinta bertepuk sebelah tangan. cinta yang terlambat terucap. (hanya kumpulan cerita pendek)