Coffee or Tea

811 49 6
                                    

Sebelumnya, jangan berharap banyak dengan cerita ini. Ini hanya coret-coretan asalku di tahun 2016, yang sadar masih mentah banget, tapi tetap ingin aku post:') hehe enjoy

"Coffee or tea?"

Sebuah suara baritone menarikku secara paksa dari duniaku di laptop. Tak perlu waktu lama bagiku untuk menoleh pada suara yang menginterupsi aktivitasku. Dan aku, menemukan sesosok pria tinggi tegap dengan muka oriental, tersenyum ramah padaku.

"Pardon?", tanyaku bingung. Pasalnya, aku tidak mengenal pria ini, bahkan pernah melihatnya pun tidak.

"Coffee or tea, Miss..." dia berhenti sejenak dan mengalihkan pandangannya pada banner nama di seragam sekolahku. "Maddelyne", lanjutnya setelah menemukan apa yang dia cari.

"Do I know you?", tanyaku, mengabaikan pertanyaan anehnya.

"No. But I know you.", balasnya tenang seraya menarik kursi di hadapanku dan akhirnya duduk.

"Maddelyne Adiwijaya. Anak SMA Permata. Tiap pukul 3 sore duduk di sini, - pojokan Armani Café-, sibuk dengan laptopnya hingga pukul 5 sore, selama 2 tahun belakangan, dan selalu memesan Black Coffee.", jawabnya tenang dengan senyum ramahnya. Aku melempar tatapan kesal padanya. Dia ini penguntit atau apa?!

"You're annoying", balasku marah. Selama 2 tahun ini, dengan perubahan sikapku menjadi Maddy yang sinis dan menyebalkan, belum ada satupun orang yang berniat berbasa basi denganku, jika tidak punya kepentingan. Bukan, bukan salah mereka. Aku yang membuat batas untuk mereka.

"I know. Just answer my question. Coffee, or tea?"

Dan begitu seterusnya selama 120 hari lamanya. Aku dating pukul 3 di café ini, duduk di tempat kesukaanku. Sibuk berkutat dengan dengan laptopku. Pukul 4.30, pria yang masih tidak kuketahui namanya, akan datang dan merecokiku dengan pertanyaan yang sama. Dan aku, masih tetap diam, sambil seskali melempar tatapan kesal jika dia mulai menjahili dan mengangguku. Dia bercerita tentang apapun. Kesukaannya pada hujan. Ketertarikannya pada basket. Ketakutannya akan ketinggian. Aku bingung, dia terlihat tidak punya beban. Selalu tenang, selalu ceria. Aku benci tawa lepasnya. Aku benci binar jahil dimatanya. Benci akan kesantaiannya terhadap hidup. Atau mungkin lebih tepatnya.. aku iri. Bagaimana bisa dia terlihat begitu hidup sementara aku.. kosong?

Hingga pada hari ke 121.....

"Coffee or tea?", tanyanya, yang sudah menjadi sapaan pembuka khas pria ini. Aku menoleh, namun kali ini ada yang berbeda. Matanya masih sama. Senyumnya pun sama. Namun, pria ini begitu pucat, seperti tidak ada darah yang mengalir di wajahnya.

"Coffee", jawabku tanpa sadar, lalu berdeham mengatasi jantungku yang tiba tiba saja berdetak lebih cepat, sebelum kemudian kembali fokus pada laptopku. Melalui ekor mataku, bisa kulihat kekagetan pria ini yang membuatku menahan tawa. Sepertinya dia menyadari hal itu, karena setelahnya dia menetralkan ekspresi wajahnya, menggaruk tengkuk yang kuyakini tidak gatal, kemudian duduk dan mulai bercerita untuk mengurangi rasa malunya. Dan akhirnya setelah 2 tahun terakhir, tawa pertamaku keluar.

Dan selama 120 hari berikutnya, ada yang berubah. Kehadirannya tidak lagi menggangguku. Dalam diam, aku mendengarkan segala ceritanya, dan terkadang tanpa sadar meresponnya dengan sekata dua kata.

"Kenapa kamu memilih kopi?", aku menoleh. Dia tidak pernah bertanya apapun. Hanya bercerita. Aku diam sejenak, menimbang perlukah aku menjawab pertanyaannya?

"Karena kopi itu pahit". Bisa kulihat kerutan dahinya yang menandakan dia sedang berpikir keras.

"Korelasinya? Kamu suka pahit?"

"Kopi dan hidupku, sama. Sama sama pahit.", aku tidak tau mengapa aku memilih mengatakan ini padanya. Hanya saja, aku merasa aman dan nyaman.

"Jadi kamu menganalogikan hidupmu dengan kopi?", tanyanya pelan. Aku mengangguk.

"Kopi yang pahit saja, bisa kamu sukai. Kenapa hidupmu tidak kamu sukai?", tanyanya.

"Aku tidak bilang aku tidak suka hidupku!", jawabku defensif.

"Tapi matamu mengatakan demikian!", nadanya meninggi. Dapat kulihat sinar jahil dan senyum di matanya hilang, digantikan sesuatu yang lain. Amarah. Aku yakin itu amarah. Tapi mengapa dia harus marah?

"Ya. Aku benci hidupku. Jika boleh, aku mau tidak pernah dilahirkan saja. Jika boleh, aku ingin aku pergi dari dunia ini. Kenapa? Itu semua masalahku! Hubungannya denganmu apa?!", jawabku marah, terpancing emosinya.

"Kenapa? Kamu pernah ditinggalkan? Dikhianati? Dicampakkan?", tanyanya. Aku terdiam.

"Seharusnya kamu bersyukur. Kamu beruntung. Kamu sehat. Apa kamu tidak merasa egois? Diluar sana, banyak sekali pesakitan yang berjuang agar bisa hidup. Aku, harus menerima sakit yang luar biasa agar dapat menghindari kematian. Agar bisa hidup dengan normal. Dan kamu, yang diberi fisik sempurna, sehat tanpa cacat, berharap untuk mati?!", teriaknya.

Aku terkejut akan kemarahannya. Otakku melambat, mencerna kata demi kata yang keluar dari mulutnya.

Kami berdua terdiam. Aku dengan keterkejutanku. Dia, dengan menormalkan nafasnya yang terengah, seraya sesekali mengernyit dan memegangi jantungnya.

"Pahami kata kataku. Bagaimana bisa kamu menyayangi orang lain nantinya jika kamu tidak bisa menyayangi dirimu sendiri?". Aku diam.

"Aku pergi. Dan saat aku kembali, aku harap kamu sudah mengerti. Tunggu aku kembali". Lalu dia berlalu. Meninggalkanku yang masih saja diam, tanpa tau makna kata "pergi" yang diucapkan pria itu.

Dan sesudahnya, semuanya berubah. Aku menata hidupku yang berantakan. Aku memaafkan yang tadinya kukira tak bisa dimaafkan. Aku mulai bersosialisasi lagi, dan pandanganku akan hidup pun berubah. Semuanya menjadi lebih baik, kecuali hubunganku dengan dia.

Sejak hari itu, dia seperti hilang ditelan bumi. Sosoknya tidak kutemui dimanapun. Meninggalkanku tanpa tau namanya, rumahnya, dan segala hal tentangnya. Namun aku tetap setia, menunggu kehadirannya di café, berharap dia menepati janjinya untuk kembali. Hingga hari berubah menjadi minggu, minggu berubah menjadi bulan, dan bulanpun menjadi tahun. Dan tidak seharipun aku absen dari café tersebut, bahkan ditengah kesibukan kuliahku.

Sampai akhirnya, pada hari ke 600, sebuah suara yang aku sadari mampu menggetarkan hatiku kembali kudengar.

"Hello, Miss Maddy. So, coffee or tea?"

Aku, Kamu, KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang