Everlasting Love

1K 60 1
                                    

Suatu kali aku berpikir, mengapa harus ada rasa takut untuk kematian? Bukankah mati menjadi tujuan akhir semua manusia? Lalu akhirnya sebuah mimpi menghampiriku dalam tidur yang tidak pernah lagi nyenyak. Darah. Darah ada dimana-mana. Di lantai. Terciprat ke dinding bercat putih pucat. Mengalir di sepanjang tanganku. Terus mengalir dari beberapa goresan dalam di pergelangan tanganku. Dan sebuah kesadaran masuk ke dalamku.

Aku, tidak takut mati. Namun mendapat penglihatan tentang bagaimana kamu akan mati, sangat menakutkan.

_____

Namanya Alethea dan kerap dipanggil Al. Aku tidak tau darimana ia datang, karena tiba-tiba saja papa membawanya ke rumah dan mengatakan dia merupakan adikku. Aku tidak tau bagaimana aku bisa memiliki adik yang langsung berumur 5 tahun, sementara aku harus menjadi bayi dulu untuk bertumbuh. Yang aku tau, kedatangan Al berimbas pada kepergian mama, yang masih tidak ku ketahui keberadaannya sekarang. Lalu ku ketahui tahun tahun kemudian, Al merupakan anak hasil perselingkuhan papa dengan wanita lain.

Jelas aku membenci Al. Tidak ada lagi mama yang membacakan dongeng bagiku sebelum terlelap. Tidak ada lagi mama yang mengusap kepalaku halus saat aku diolok teman sekolahku. Intinya, tidak ada lagi mama. Dan kebencianku pada Al tidak susah susah ku tutupi, bahkan sejak detik pertama ia dinyatakan menjadi adikku. Namun selain manja dan cerewet, nyatanya Al ini tidak tau diri. Dia menempel padaku seperti perangko, mengikutiku kemanapun aku pergi, bahkan hingga aku remaja. Kata kata kasarku, bahkan sedikit dorongan yang kulayangkan padanya tidak membuatnya jera. Mengatakan sayang padaku saat yang kurasakan padanya hanya rasa benci. Membuatkanku makanan saat yang ku inginkan hanya membuatnya menderita. Membersihkan kamarku saat aku selalu memecahkan barang-barang kesayangannya. Ya, sekeras kepala itu Al ini.

Dan dia sangat merepotkanku. Aku tidak ingin peduli padanya, sungguh. Namun aku terpaksa membantunya menghajar pria-pria yang menganggunya saat ia berada di bangku SMA. Aku terpaksa menawarkan tumpangan padanya saat ia menunggu bus dalam keadaan hujan. Aku terpaksa meminjamkan jaketku saat menyadari ia menggigil. Aku bahkan terpaksa membagi putih telurku hanya karena matanya berbinar saat menatapnya. Ya, terpaksa. Aku yakin aku terpaksa.

Suatu masa aku mulai muak dan tidak tahan lagi dengan peringainya yang ceria. Aku tidak tau, 12 tahun berlalu dan dia belum menyerah mengambil hatiku, yang mana papa saja sudah lama mengabaikan kemarahanku karena lelah. Dia mengoceh mengenai kegiatannya di kampus barunya di kamarku, saat aku sedang pusing-pusingnya dengan skripsiku yang ditolak dosen. Segera ku gebrak mejaku, tidak tahan dengan suaranya, dan tiba-tiba saja bibirku sudah membungkam bibirnya. Jangan tanya betapa kagetnya aku saat tiba-tiba rasa manis dan hangat kurasakan di bibirku. Tubuhku kaku, tidak bisa mundur. Lalu entah siapa yang memulai, kami tenggelam dalam ciuman yang harus kuakui,-sangat manis-. Kejadian itu hanya awal. Karena sesudahnya, setiap kali aku merasa muak dengan ocehannya, aku akan membungkamnya dengan cara yang sama. Ia tidak pernah protes. Al hanya menerima. Dia tidak pernah menolak apapun yang kuminta atau membantah apa yang ku lakukan.

Al semakin menjadi-jadi. Dia mulai berani menggelayut manja padaku jika berada di kampus, terlebih saat aku sedang berbicara dengan teman wanitaku. Dia memberi sikap sinis pada semua teman wanitaku. Tidak masuk akal. Dia tidak peduli penolakanku, juga tatapan tajamku. Dia hanya akan tersenyum dengan polosnya, yang seringkali membuatku geram.

Suatu masa, aku merindukan mama lebih dari yang biasa kurasakan di hari ulangtahunku. Aku memang marah pada mama karena meninggalkanku dengan mudah, namun satu sudut hatiku masih mengharapkan sosoknya. Lalu Al muncul di kamarku. Aku sudah lelah berteriak dan mengatakan padanya jangan memasuki wilayah pribadiku. Namun kembali seperti yang kukatakan, Al keras kepala. Melihat wajahnya saat aku merindukan mama, bukan kombinasi yang baik. Karena kemarahan dalam diriku terbakar, membuatku segera menyambarnya secara cepat dan menciumnya membabi buta. Seperti biasa, Al meresponku. Dia tidak pernah protes saat aku menciumnya kasar, hinga bibirnya kerap terluka dan berdarah. Sialan, membuatku seperti penjahatnya dan dialah korbannya. One kiss leads to another. Aku tidak bisa lagi membedakan kemarahan dan gairah saat tangan mungilnya meremas rambutku. Aku menjamah seluruh bagian tubuhnya yang bisa ku jamah. Dan dapat ku lihat airmatanya jatuh menandakan rasa sakit yang ia rasakan saat aku merenggut mahkotanya yang paling berharga. Sungguh, aku tersadar. Aku memang benci padanya, namun aku tidak mau merusaknya. Saat dia melihatku ingin menjauh darinya, dia menahanku.

Aku, Kamu, KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang