Episode 2

10.3K 618 15
                                    

Raya tidak bisa berpikir jernih sekarang. Ia baru mengetahui kalau Dimas yang menemaninya pulang tiga malam yang lalu adalah anak bungsu keluarga Erlangga, hebatnya lagi, dia adalah salah satu korban kecelakaan pesawat yang menghebohkan indonesia. Sudah dua jam berlalu sejak Dosen masuk ke kelas, tapi Raya sama sekali tidak mencatat seperti yang lainnya. Ia tak bisa tenang, entah kenapa.

"Saya akhiri sampai sini, silahkan kalian rangkum dan kumpulkan besok pagi." Pak Imran keluar dari kelas.

Semua mahasiswa sibuk bertukar catatan, tapi tidak dengan Raya. Dadanya sesak tiba-tiba. Ada teriakan dan benturan terdengar, pandangan Raya buram, ia memejamkan mata. Suara teriakan, benturan dan gelegar petir bersahutan memenuhi kepalanya. Telinga Raya sakit, dadanya benar-benar sesak.

"Raya." suara Mei terdengar samar. Raya bahkan tak bisa melihat jelas dimana sahabatnya itu.

Suara orang-orang beristighfar dan bertakbir terdengar, lalu dengungan panjang mengakhiri segala kebisingan di kepala Raya. Sesak di dadanya hilang, begitu juga dengan telinganya yang sudah tidak terlalu sakit. Pandangan Raya mulai jelas. Mei berdiri cemas di depan Raya.

Air mata Raya mengalir begitu saja. Ia sendiri tidak tahu apa alasannya menangis, yang ia tahu, barusan adalah suara orang-orang dalam kecelakaan pesawat itu. Mei menarik Raya kepelukannya.

"Nggak apa-apa, Ray, kan udah biasanya lo begini." Mei berusaha menenangkan.

Raya melepas pelukan Mei, ia menyeka air matanya dan bangkit. Keduanya berjalan ke kantin kampus tanpa membicarakan apapun. Raya masih tidak mengerti kenapa harus dia yang merasakannya. Kenapa dia yang harus mendengar suara-suara dari kecelakaan pesawat itu.

"Iya, aku dengar si Dimas itu tadinya nggak mau ikut, tapi karena Ibunya maksa akhirnya dia libur kuliah dan ikut keluarganya ke Bangkok."

"Kalau dari berita, katanya kemungkinan ada korban selamat itu cuman lima persen."

"Tapi kayaknya, Dimas sama keluarganya meninggal deh. Nyatanya udah delapan jam pencarian tapi bangkai pesawat nggak ketemu, korban tewaspun nggak ada. Hilang gitu aja. Ngeri."

Raya menghela nafas, hampir seisi kantin membicarakan kecelakaan pesawat Garuda Indonesia kemarin siang. Raya dan Mei duduk di meja yang dekat dengan jalan yang membatas gedung kantin dan taman belakang gedung Fakultas Ilmu Budaya dan Ilmu Politik. Dari sini, mahasiswa yang asik mengobrol di taman atau mengerjakan tugas dan berdiskusi disana bisa terlihat. Tempat favorit Raya untuk makan siang.

Dua mangkuk soto dan dua gelas es teh diantar oleh Ibu Kantin ke meja Raya dan Mei. Baru Raya berniat menikmati makan siangnya, seseorang tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Mei nyaris tersedak. Raya menoleh dan mendapati Calvin yang nyengir kuda ke arahnya.

"Kamu mengganggu makan siang, Cal." Raya mendengus.

"Saya nanti malam diundang ke acara jalan-jalannya keluarga kamu loh Raya." Calvin menaikturunkan kedua alisnya, senyuman itu berhasil membuat Mei tidak fokus dengan sotonya.

"Aku nggak ikut." Raya menyuap sotonya.

"Harus ikut. Temanin saya naik Bianglala." Calvin tersenyum memperhatikan Raya yang asik melahap sotonya.

Raya meneguk es tehnya, lalu menatap kesal Calvin. Bule Sydney yang nyasar ke Undip itu selalu saja mengganggu makan siangnya apalagi kalau Raka sedang manja dan ingin makan bareng Raya, melihat kelakuan menyebalkan Calvin saja sudah cukup membuatnya kenyang.

"Aku nggak suka naik Bianglala, Cal."

"Raka bilang kamu suka banget sama wahana itu. Tiap ke PRPP pasti kamu naik Bianglala."

INDIGO 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang