Pagi hari di kota yang sibuk. Sekumpulan burung terbang bersamaan, hinggap di atap-atap bangunan ketika aku lewat dengan ketukan sepatu boot cokelatku yang senantiasa mengiringi. Udara sisa musim dingin bulan ini menghalau, menerpa helaian rambut yang tidak sempat kusisir. Sambil merapikan isi tas, aku menempelkan ponsel ke telinga dengan pundak, sementara nada sambung berbunyi kulemparkan sekeping permen rasa ceri kemulutku. Sungguh, kegiatan ini harusnya kulakukan di rumah. Hanya saja, dengan sialnya aku bangun terlambat. Astaga, bos yang super galak itu pasti akan marah bagaikan petir kali ini.
Corrine, orang yang kutelepon akhirnya menjawab panggilanku.
"Je? Kau sudah di area kantor?""Hampir dekat, kenapa?" Aku berlari sambil tersengal-sengal.
"Kau harus cepat," Corrine terdengar cemas, "Bos meminta naskahmu selesai hari ini. Dia mengumumkannya barusan dan tidak melihatmu di ruangan, jadi..."
"Gawat, kan? Aku dalam bahaya." Lenguhku, kutepukkan punggung tanganku ke dahi sambil mendesah shock. "Bos sialan itu tidak bilang apa-apa soal deadline." Protesku.
Lima menit kemudian aku sampai di tempat kerja, menaiki tiga anak tangga tidak berguna dan masuk melalui pintu yang besar penuh ukiran. Seperti biasa, kebisingan lobby menyambutku. Sebagian besar aktivitas kerja disini memang dilakukan di lantai 1. Well— ini bukan seperti kantor modern yang kau pikirkan. Tempat ini hanyalah sebuah gedung tua berasitektur khas Eropa yang terbengkalai dan dijadikan kantor redaksi kecil. Pendiriannya pun terkesan sangat dipaksakan.
"Hai, Je. Rambut yang buruk pagi ini?" Salah satu teman kerja baru menyapaku.
"Je yang bodoh ini tidak ingat dimana sisirnya." Jawabku sebelum menaiki tangga menuju lantai 2. Corrine, sahabatku yang cantik dan berbinar setiap hari, begitu melihatku datang langsung menyusulku dengan tumpukan buku di tangannya. Dia tampak khawatir.
Aku menjatuhkan tas dan semua barangku ke meja kerjaku, lalu berkacak pinggang menatap Corrine yang hendak membuka mulut untuk bicara tapi suara menggelegar dari ujung ruangan mencegat kalimatnya.
"Selesaikan seluruh naskah sekarang juga. Aku mau tetek bengek itu ada di mejaku pukul 5 sore nanti dan teruntuk penulis Jessi Hanix, naskahmu yang paling utama dan kau bertanggung jawab menyelesaikannya hari ini."
Ya, siapa lagi kalau bukan bos sialan itu, berteriak didepan seluruh karyawan dan menyebut namaku tanpa melihatku. Aku menenggelamkan wajah ke telapak tangan, merasakan bahuku diremas Corrine. Ini benar-benar hari yang buruk.
"Bekerja keraslah." Ucap Corrine.
Baiklah, sabar. Aku duduk dan memulai pelan-pelan dengan menyalakan laptop, membuka file naskahku dan.....
Astaga. Dimana file itu?
Aku panik, mengutak-atik laptop mencari file naskah yang kukerjakan susah payah berhari-hari. Dan ya, aku tidak bisa menemukannya. Setan macam apa yang menghapus naskah berhargaku?!
Aku memukul dahiku, menggaruk-garuk kepalaku seperti orang gila. Corrine menatapku dengan wajah ketakutan.
"Kau baik-baik saja, Je? Mau kuambilkan kopi?"
"Tidak, Corrine..." Aku mencengkram tangannya, "Aku tidak bisa menemukan naskahku."
"Apa? Bukankah kau sudah hampir selesai menulisnya? Seingatku kau menyimpannya disini."
Corrine ikut panik, mengutak-atik laptopku sebentar dan dengan mulut menganga dia berbalik menatapku.Aku sudah tahu, naskah itu lenyap.
"Tidak mungkin." Gumamku.
"Je, apa yang harus kita lakukan?"
Corrine beranjak pergi, entah karena shock atau benar-benar ingin mengambilkanku kopi. Aku kembali mengutak-atik laptopku, berusaha menemukan file naskahku. Dan tiba-tiba saja sebuah file terbuka. Isinya sangat asing, aku tidak ingat pernah menulis ini:
YOU ARE READING
The Ardont Syndrome
FantasyAku tidak mengenal mereka. Tapi aku menjalaninya bersama mereka. Karena, Perbedaanlah yang menyatukan kita. Sebuah cerita dedikasi dengan cast: 1. Celsa Amegia: heyitsrine 2. Christelle Lorna: ochance24 3. Feine Hewitt: mm_rethaa26 4. Goldie Mary: m...