"Sial.."
"Apa itu?" Jerit Celsa tak keruan.
Belum sempat ada yang menjawab, muncul seekor ular besar yang melata mendekati kerumunan kami. Tidak ada yang bereaksi sebelum Goldie mendesahkan:
"Lari."
Dengan itu, tanpa tedeng aling-aling, kami semua menghambur dalam satu kelompok, lari sekencangnya dengan teriakan nyaring. Deru marathon kami menggema, sementara ular itu mengikuti kami seperti telah diprogram.
Ruangan ini berbelok dan kami memasuki lorong penuh pintu. Sambil berlari aku memukul tiap pintu yang tergapai, andai saja bisa terbuka. Tapi semuanya terkunci.
Keluar dari lorong, ruangan baru menyambut kami. Lebar dan luas dengan sulur-sulur merambat di sekeliling. Saking terbengkalainya, ada sekawanan tupai berkumpul di dekat permadani.
"Ini tidak normal." Seru Feine yang berada di urutan paling belakang sebelum tubuhnya terjerembab.
"FEINE!" Jeritku, langsung berlari mundur menghampirinya.
"Je, kakiku sakit." Aku memerhatikan kaki Feine, sepertinya dia tersandung dan terkilir.
Tapi tidak ada waktu, ular itu muncul dari lorong dan mendekat ke arah kami. Kalap, aku menarik tangan Feine dan menyeretnya sekuat tenaga. Christelle dengan tubuhnya yang kecil itu membantuku menyeret Feine sehingga laju kami bisa lebih cepat.
Sialnya, aku dan Christelle menubruk seseorang yang dengan tololnya berjongkok di tengah ruangan. Kami jatuh berdebum, tangan Feine terlepas dari genggamanku. Kulihat, orang yang sedang jongkok itu tak lain adalah Goldie.
"Goldie?! APA YANG KAU LAKUKAN DISINI?" Seruku emosi, tapi Goldie malah diam. Dia menutup mata sambil melipat tangannya seperti sedang berdoa.
Aku terlena dengan sikap Goldie sehingga melupakan Feine. Terlonjak, aku bangun dan mendapati pemandangan ini:
Feine yang tersungkur, berusaha menyeret tubuhnya yang kelelahan. Dan ada ular sialan itu di belakangnya.
Tiba-tiba saja sekujur tubuhku merinding.
Ular itu kini melata dengan lambat, seperti menakut-nakuti. Dia mengikuti seretan lemah Feine. Tupai-tupai dekat permadani menjerit dan berlarian untuk sembunyi.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Bahkan jika aku selamat...
Aku tidak akan berani hidup jika melihat salah satu dari kami mati...
"Fe-Feine..." Lirih Christelle, air mata berlinang di pipinya.
Feine yang masih berkonsentrasi pada kakinya langsung tertegun, menatap Christelle yang tak bisa apa-apa selain menggeleng dalam tangis. Feine pasti sudah sadar akan nasibnya yang di ujung tanduk.
Dalam ketakutannya, Feine berusaha untuk tenang. "Oke... Tidak apa-apa..." Katanya dengan suara tersendat, dia pucat, "Semuanya... Pejamkan mata kalian."
"Tidak! Tidak, Feine, kumohon..." Christelle tersedu-sedu.
"Aku— tidak menyangka akan bertemu kalian, tapi terima kasih." Lanjut Feine.
Segala macam emosi campur aduk di kepalaku. Disampingku, Goldie masih diam berjongkok. Benar-benar tidak mengerti akan situasi yang kami hadapi sekarang.
Marah, kuraih tubuh Goldie dan mengguncangnya, "KAU BERSEMEDI DI SAAT-SAAT SEPERTI INI, KEPARAT? BANGUN, AYO BANG—"
Krog, krog, krog, krog!
Suara-suara aneh menghentikan kalimatku dan aku menoleh, terkejut bagaikan mimpi saat melihat sekawanan katak datang kearah kami seperti sihir.
Kupikir aku sudah sinting, berhalusinasi. Tapi katak-katak itu nyata. Mereka melompat-lompat menarik perhatian ular, dan ketika sadar bahwa ada pemangsa, katak-katak itu sontak menjauh.
YOU ARE READING
The Ardont Syndrome
FantasyAku tidak mengenal mereka. Tapi aku menjalaninya bersama mereka. Karena, Perbedaanlah yang menyatukan kita. Sebuah cerita dedikasi dengan cast: 1. Celsa Amegia: heyitsrine 2. Christelle Lorna: ochance24 3. Feine Hewitt: mm_rethaa26 4. Goldie Mary: m...