Sebelumnya, maaf untuk chapter yang pendek dan tidak berkesan ini. Mau cerita dikit, jadi saya bikin chapter tentang CELSA butuh perjuangan, lho. Secara karakter asli orangnya absurd banget, jadi bingung mau dibuat gimana di cerita. >_< Awalnya saya memang udah punya gambaran, tapi saat dituangkan ke tulisan semuanya jadi berantakan. Saya coba susun lagi dan total TIGA KALI saya ganti alur cerita Celsa ini. Wah, satu minggu lebih hanya untuk Gloria :") Lihat betapa saya ingin menyanjung anda walaupun ceritanya jadi jelek begini, maafkan ya ^_^ Saya bukan penulis profesional, lho. Pasti banyak mengecewakan. Apalagi si karakter asli udah ga sabar pengen baca, saya jadi gak enak. Harusnya chapter ini juga untuk Goldie, tapi belum sempat karena terlalu banyak utak-atik punya Celsa. Sorryyyy saya tahu ini jelek =___= Kalo gitu, terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca! ^O^
——Special for glossyangel~
Celsa yang kupandangi saat ini tidak jauh berbeda. Tampak angkuh, arogan, nyentrik. Dia tipikal siswa yang menganggap sekolah sebagai istananya dengan berlaku bak putri: seragam diketatkan, rok diperpendek, dan dandanan mencolok. Berdirinya adalah diantara gerombolan gadis yang bernampilan sama. Gadis-gadis centil jual mahal.
Gerombolan Celsa berjalan pulang sambil ribut membicarakan baju baru keluaran Marc and Jacobs, atau jam tangan Michael Kors, atau tas Gucci, kosmetik ini dan kacamata itu dan gaun ini serta sepatu itu. Obrolan mereka tak lebih dari bualan anak-anak orang kaya yang menggilai barang-barang branded diatas segalanya.
Akhirnya Celsa berpisah di pertigaan jalan. Gadis itu mengambil arah kiri sementara gerombolannya meneruskan perjalanan.
Setelah memasuki gang yang sepi, langkah Celsa berhenti didepan sebuah rumah. Yang membukakan pintu adalah lelaki berpenampilan berantakan. Kemudian aku dikejutkan dengan mereka berdua yang langsung saling serbu serampangan. Celsa Amegia ini tidak berbeda dengan remaja kota bergaya hidup bebas ternyata.
Aku memutuskan duduk di ruang tamu, menolak keharusan untuk melihat apa yang terjadi. Mereka masuk lebih dalam ke rumah. Kututup telingaku dan mengernyit ketika mendengar suara-suara palang kenikmatan dari dalam sana. Benar-benar situasi menjijikan. Bagaimana mungkin peristiwa ini masuk ke dalam proyeksi?
Satu jam lebih. Sudah tidak ada suara. Lenguhan puncak lelaki itu telah usai lima menit yang lalu. Aku menghela nafas lega. Rasa penasaran yang besar pun membuatku melangkah kearah kamar, tempat pasangan itu berbaring polos penuh peluh.
Aku menyipitkan mata. Kulihat lelaki itu—yang sepertinya jauh lebih tua—mengambil sesuatu dari laci dan memberikannya pada Celsa.
"Apa ini?"
"Lipbalm. Kau bilang kau ingin Rosebud, kan?"
"Astaga, ini untukku? Terimakasih! T-tapi... Kenapa ini sudah dipakai?"
"Pacarku meninggalkannya disini."
"Well... PACARmu benar-benar berselera." Cibir Celsa. "Lihat, bahkan ada sidik jari PACARmu di lipbalm ini."
"Sst! Pelankan suaramu, bocah. Ada untungnya juga kan, aku dapat perempuan kaya?"
"Tetap saja kau lebih tertarik pada bocah sepertiku."
Sementara mereka bermesraan, aku mengitari ruangan dimana foto-foto yang terpajang merupakan foto-foto mesra lelaki itu dengan perempuan lain, bukan Celsa.
Oh, aku mulai mengerti. Jadi gadis SMA naif ini adalah selingkuhan orang, ya? Pasalnya dia sedang bersiap pergi begitu si lelaki bilang "Sebentar lagi pacarku datang."
Dan entah bagaimana, dunia di sekelilingku berbayang kemudian terpecah. Aku tahu ini terjadi ketika akan memasuki proyeksi lain, tapi... Tidak mungkin proyeksi Celsa hanya seperti itu saja, kan? Aku belum dapat intinya. Atau ini hanya semacam kecacatan program saja?
Tapi aku salah. Ternyata simulasi ini masih berlanjut. Masih tentang Celsa. Sekarang, aku berada di sebuah kamar kost kumuh yang catnya mengelupas dan langit-langitnya keropos. Tampak Celsa sedang berbaring di ranjang dengan air mata mengalir dan nafas sesenggukan, menatap ke televisi usang yang tengah menampilan berita pembunuhan seorang wanita. Wanita itu dibunuh oleh pacarnya sendiri. Siaran itu juga menyorot rumah yang diduga menjadi TKP.
Tunggu...
Rumah itu... Dari proyeksi sebelumnya. Rumah tempat Celsa bercinta sebagai simpanan dengan si lelaki berantakan.
Aku melihat dua foto yang menampilkan wajah korban dan wajah tersangka.
Lelaki itu menjadi tersangkanya. Dan korbannya adalah wanita cantik berusia 25 tahun.
Sebenarnya ini terlalu rumit. Tapi tindakan Celsa selanjutnya langsung menarik perhatianku, tidak memberiku jeda untuk berpikir. Celsa membuka sebuah surat yang bertuliskan:
Lihat, aku buron sekarang setelah menyingkirkan pacarku sendiri. Aku kabur untuk bersembunyi. Bersikaplah biasa dan jangan lakukan hal mencolok. Oh, Rosebud yang kuberi padamu, milik wanita itu. Buang Lipbalm itu sampai tidak berbekas. Kalau tidak kau akan dicurigai polisi. Aku akan menemuimu setelah aman, dear. Jangan lupa musnahkan juga surat ini. Semoga beruntung—
Tidak ada nama pengirim, tapi aku tahu surat itu dari si lelaki berantakan. Si pembunuh.
"Baiklah... D-dimana lipbalm sialan itu?" Celsa mulai kesetanan mengobrak-abrik kamarnya. Jelas dia mencari lipbalm itu, dan tidak ketemu. Aku bisa melihat wajahnya stress dan panik, lalu meraung ketakutan.
Gadis SMA naif yang menggilai barang mahal, bergaul dengan orang kaya karena gengsi, nyatanya tinggal di tempat kumuh dan semua yang dikatakannya adalah bualan. Dia menjadi simpanan lelaki yang sudah punya pacar— lelaki yang kemudian membunuh pacarnya entah atas motif apa. Lalu menyuruh selingkuhannya —Celsa— untuk menghilangkan jejak. Well, sebenarnya lelaki itu jelas ingin melindungi Celsa, tapi separuh keuntungan tentu dibawa lelaki itu juga. Kalau Celsa tidak terlacak dan tidak menimbulkan kecurigaan, maka lelaki itu aman.
Aku bisa menebak. Menebak bahwa disinilah, saat inilah ketika Celsa mendapat pesan dari Mr. P untuk datang ke gedung Kippa, berkedok lipbalm yang dicarinya ada disana. Selama ini aku telah salah paham. Kupikir masalahnya adalah yang paling remeh, tidak penting. Well, dibanding Christelle yang butuh paspornya untuk ke New York atau Feine yang mencari sampel tanaman obatnya, pantas jika kupikir Celsa hanya terlalu bodoh untuk bersedia datang ke gedung Kippa dengan motif kehilangan lipbalm saja, kan? Nyatanya ada alasan berbahaya dibalik lipbalm yang remeh itu.
Lipbalm itu bisa saja menjadi... Barang bukti, kan? Tentu saja penting bagi Celsa untuk melenyapkannya. Demi keselamatan pacarnya dan dirinya juga. Tapi lipbalm itu raib sendiri tanpa diketahui dan bisa saja tahu-tahu sudah berada di tangan polisi. Lipbalm itu harus dimusnahkan dengan tangannya sendiri. Oh, tentu saja.
Dengan apa? Mungkin dibakar, dibuang ke laut, atau dikubur?
Yang jelas aku mengerti. Jadi gadis ini memang bodoh. Karena itu dia datang ke Gedung Kippa. Ya, ya............
**
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ardont Syndrome
FantasiAku tidak mengenal mereka. Tapi aku menjalaninya bersama mereka. Karena, Perbedaanlah yang menyatukan kita. Sebuah cerita dedikasi dengan cast: 1. Celsa Amegia: heyitsrine 2. Christelle Lorna: ochance24 3. Feine Hewitt: mm_rethaa26 4. Goldie Mary: m...