Something

36 6 6
                                    

Suara itu jelas suara Celsa, dan semua wanita pun langsung melihat padanya dengan tatapan takut sekaligus mengintimidasi.

"Baiklah, mari rundingkan ini," Kuusap dahiku frustasi, "Astaga, aku bingung dengan keadaannya. Tapi adakah yang mau turun kembali untuk mencoba membuka pintu lagi?"

"Pintu utama tadi? Bukankah tidak bisa dibuka?" Tanya Feine.

"Berharap saja sekarang bisa dibuka." Jawabku.

"Jika tidak?" Feine bertanya lagi.

"Maka kita buat pilihan lain."

Semua wanita tampak berpikir, tak lama Goldie pun mengangguk setuju.
"Siapa yang bersedia menemaniku turun?" Tanya Goldie.

Hening.

"Baiklah." Goldie menggumam pasrah.

"Aku terlalu takut bahkan untuk bergeser saja." Keluh Christelle, kedua tangannya bertautan tegang.

"Kalian tidak mungkin membiarkan Goldie turun sendirian!" Gertakku kesal.

Julie memandangku gusar, "Kenapa tidak kau saja?"

Aku diam, lalu Proxy mengacungkan kepalan tangan ke udara.
"Aku."

"Bagaimana dengan semuanya turun?" Sela Julie.

"Supaya kita bergerak cepat, ini menurutku. Beberapa orang mencoba buka pintu dan yang lain mengecek ruangan di lantai ini. Jika pintu bisa dibuka, panggil semuanya dan keluar bersama-sama." Jelasku.

"Jadi kamu ingin membagi kita menjadi dua tim?" Tanya Christelle.

"Maaf, tapi Mr. P bilang kita harus tetap berjalan dalam tim." Timpal Spica, dan aku menatapnya tajam.

"Persetan dengan dia!" Geramku, "Kalau ada jalan lain yang lebih mudah, untuk apa cari jalan yang sulit? Maksudku kalau pintu bisa dibuka, kita tidak perlu mengikuti permainan bodoh ini."

Goldie mengangguk, "Aku setuju. Tapi ide untuk memisahkan kita sepertinya kurang bijak. Lebih baik semuanya turun."

"Benar, berpencar itu banyak resiko. Cari aman sajalah." Sambung Spica.

"Begini," Feine menyela sambil memegang tanganku, "Kita sudah sejauh ini dan apa kita harus mundur lagi? Padahal kau baru saja membuka jalan dengan melewati laser. Dengarkan aku, pintu itu tidak bisa dibuka. Pertama, kalau memang seseorang tidak sengaja menguncinya dari luar, maka tiba-tiba saja orang itu membuka kuncinya lagi tanpa memeriksa apakah ada orang didalam?"

Kami semua diam.

"Kedua, kalau dia berniat mencelakakan kita, apakah dia akan membuka pintunya dengan cuma-cuma?" Lanjut Feine.

Kemudian semua wanita tampak berubah pikiran. Mereka menunduk menatap lantai, menggigit bibir, gemetar ketakutan.

Aku pun mendesah berat, "Kalian percaya ada orang yang mau mencelakai kita?"

"Lalu apa? Kau percaya ada kekuatan gaib yang mencelakai kita?" Timpal Feine, dan itu merupakan pukulan keras bagiku.

Ya, apakah aku mulai berpikir bahwa ini semua ulah hal-hal tak kasat mata? Kalau begitu aku sudah gila!

Tidak, tidak! Aku harus berpikir rasional dengan akal sehatku. Ini demi kelanjutan hidupku.

"Baiklah, terimakasih untuk mengembalikanku pada kenyataan." Ucapku lemas.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Christelle.

"Lanjut berjalan saja, tapi kita akan saling menjaga kali ini." Kata Spica, senyum manisnya kembali merekah.

The Ardont SyndromeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora