Aku menatap jaringan laser yang berdengung kecil dihadapanku, sementara kicauan cemas wanita lain membubung di udara. Diam seolah tercekat, pikiranku melayang ke masa lalu. Perlahan, suara-suara disekitarku pun teredam dan dunia serasa berbayang.
Je yang dulu terkenal dengan nama Gummy. Nama yang konyol tapi mereka bilang sangat mendeskripsikan kemampuanku yang bisa melipat-lipat tubuhku seperti karet. Dan karena aku suka memakai parfume berbau permen, julukan 'Gum' pun melekat padaku. Mereka sering menggodaku dengan julukan itu tiap kali aku menang kompetisi.
Sebelum aku memilih melanjutkan hidup dengan karir penulis, aku pernah menghadapi halang rintang yang bentuknya seperti ini. Bedanya, yang terdapat dihadapanku sekarang adalah laser pembunuh, bukan tali-temali.
Dan laser sialan ini telah membangkitkan kenanganku yang lama terkubur, membuatku kembali merasakan rindu yang dianggap kedua orangtuaku sebagai sesuatu yang konyol dan kekanakkan.
Orang yang kusebut 'ayah' dan 'ibu' itulah yang menghentikan semua impianku, membuatku terpaksa menjadi seorang penulis.
"P sialan, P bodoh. Apa maksudnya menyuruh kita bergerak dan malah memberi kita ini? Dia tentu hanya ingin kita mati." Racauan Celsa berhasil mengembalikanku ke dunia nyata.
Dengan suatu keyakinan yang rawan gugur, aku menjatuhkan tasku dan menggelung rambutku di puncak kepala, persis seperti diriku yang dulu. Kulepaskan jas, syal, sepatu, dan perhiasan lalu melakukan perenggangan seperti yang dulu diajarkan instrukturku sambil mengatur nafas.
"Wah-wah, apa yang kau pikir sedang kau lakukan? Kau mau berenang di lautan mesin mutilasi?" Ejek Celsa.
Aku memutar bola mataku, "Kalian yang memilih melanjutkan ini, aku hanya membantu untuk menyingkirkan halangan."
"Apa maksudmu?" Tanya Feine.
"Ayolah, kau mau jalan keluar, 'kan?" Sahutku, mulai berlagak enteng.
Celsa tertawa aneh dan menepuk tangannya, "Hebat, hebat! Jadi kau mau mengorbankan nyawamu, ya?"
Aku menggeleng membalas tawanya, lalu melangkah santai —mencoba santai— menuju halang rintang.
"Hei, kau mau celaka?" Seru Julie.
"Jangan coba-coba, Je." Christelle menahanku.
Aku berbalik dan menatap mereka semua, "Aku cuma akan menyelesaikan ini, oke?"
Aku menarik nafas dalam-dalam, kemudian berbalik lagi, "Oh ya, jangan lupa bawakan tas dan barang-barangku nanti."
Ya, aku kembali menjadi Gummy.
Halangan pertama adalah garis laser rendah yang bisa kulangkahi, tapi terlalu berisiko karena didepannya ada garis laser setinggi pinggangku yang jaraknya dekat. Kemungkinan aku melewati garis pertama tanpa gugur di garis kedua sangat kecil.
Berarti aku harus melakukan ini: straddle. Kemudian menelungkupkan tubuhku sejajar lantai. Bisa kudengar seruan ngilu dan panik dari para wanita.
Tenang, kuncinya adalah tetap menempel pada lantai. Perlahan, kuulurkan tanganku melewati bagian bawah garis laser pertama. Dengan sekuat tenaga, aku menarik tubuhku sehingga aku masuk sampai ke pinggang. Kesulitannya adalah pada bokong. Dalam posisi cobra, harus ekstra hati-hati menarik tubuh bagian bawah, karena kulihat puncak bokongku hampir mengenai laser.
Tapi aku berhasil.
Aku merangkak melewati garis kedua dengan selamat sementara wanita lainnya berseru senang.
Garis yang ketiga mudah, aku tinggal melangkahinya saja. Tapi di garis laser keempat merupakan tantangan baru. Garis itu terdiri dari tiga sinar laser yang bersilangan. Aku mencari titik pusat dimana tiga laser itu bertubrukan, kemudian membungkuk dan bergeser melaluinya.
Garis laser kelima agak tinggi, namun terlalu berbahaya jika dilangkahi. Jadi aku mendorong tubuhku ke belakang dan dengan posisi itu kulangkahkan kakiku melewatinya. Beres.
Garis laser keenam rendah, bisa dilangkahi. Tapi aku kecewa melihat garis laser ketujuh yang terdiri atas dua laser atas-bawah dengan jarak terlalu dekat. Tak kehabisan ide, aku membaringkan tubuhku, dengan kaki dan tangan kananku kutarik tubuhku melewati dua garis laser itu sekaligus.
Garis yang kedelapan cukup membuatku pusing. Seperti yang sebelumnya, laser ini terdiri dari dua garis yang berdekatan. Garis atasnya jelas tidak bisa kulangkahi, garis bawahnya terlalu dekat lantai.
Jadi aku mencoba peruntunganku sendiri: duduk membelakangi laser, menjulurkan tanganku melalui celah diantara kedua laser itu. Kudorong tubuhku agak ke belakang. Kemudian dengan nafas sedikit tercekat, kuangkat tubuhku membentuk posisi seperti meja. Aku melangkah dengan posisi seperti itu sampai siku lututku sejajar dengan garis laser, lalu aku duduk dan langsung membaringkan tubuh. Hati-hati sekali kutarik sisa kakiku melampaui celah garis dan berhasil.
Astaga, lega rasanya. Barusan yang tersulit.
Tinggal dua garis laser terakhir. Garis kesembilan merupakan dua garis bersilang dengan garis kesepuluh berjarak dekat dan sejajar titik persilangan.
Ini agak mudah, tapi juga menjebak. Kalau aku lewat bawah, akan terlalu lama dan ototku bisa sakit. Lewat atas akan membahayakan keseimbanganku.
Aku pun kembali terbang ke masa lalu, mengingat sebuah loncatan terakhir yang menuai sorakan dan tepuk tangan saat kompetisi.
Maka aku berbalik menghadap para wanita yang tegang, kemudian tersenyum pada mereka. Dengan itu aku mendorong tubuhku menuju celah diantara garis kesembilan dan sepuluh, melayang melakukan back walk-over, kuakhiri dengan melempar tubuhku melampaui garis terakhir.
Dan aku dalam posisi ini sekarang: membungkuk menghadap kakiku dengan laser terakhir berada diantara kaki dan perutku.
Aku tersenyum lagi, berdiri dengan hati-hati dan menyelesaikan pertunjukkan.
Semua wanita berteriak girang.
"Hebat! Bagaimana kau melakukannya?" Christelle terkagum-kagum."Bagus, dan sekarang kau menyuruh kami melakukannya sepertimu?" Tuntut Celsa.
Aku menatapnya, "Ini belum selesai."
Di dinding sebelah kiri, terdapat kotak kecil dengan dua tumbol: merah dan hijau. Aku berkonsentrasi, kemudian menekan tombol merah dan semua laser pun padam.
"Wow!" Seru Christelle.
"Cepat lewat." Kataku.
Semua wanita berhamburan melewati area laser tadi dan selamat.
Feine menatapku, "Woah, apa kau seorang—"
"Gymnast? Ya, dulu." Ujarku.
"Kau keren." Goldie yang membawakan barang-barangku mengedipkan mata. Aku mengangkat alis sambil menerima barang-barangku.
Spica mendatangiku dan tersenyum, "Terima kasih."
"Oh, astaga," Aku memutar mataku, "Ini hanya hal mudah bagiku."
"Tentu saja, kau ahli melakukannya." Balas Spica.
Untuk pertama kali aku tersenyum dan merangkulnya. "Baiklah, jangan berlebihan." Kataku.
Christelle mengamati kotak tombol dengan seksama, "Je? Kau mau lihat ini?"
Aku melepas rangkulanku dan menghampirinya, "Apa?"
"Benda ini sepertinya baru." Christelle meraba kotak itu dan aku ikut mengamatinya.
Ya, sangat baru.
"Dan baru dipasang." Gumamku, "Apakah mungkin ada laser yang modern di gedung tua dengan perabotan super reyot?"
"Itulah yang kupikirkan." Balas Christelle, aku menatapnya.
"Ini baru dan tidak berdebu. Berarti—"
Feine berkata panik, "Ada seseorang yang sengaja memasangnya."
"Jadi... Kita memang akan dibunuh, ya?"
**

YOU ARE READING
The Ardont Syndrome
FantasyAku tidak mengenal mereka. Tapi aku menjalaninya bersama mereka. Karena, Perbedaanlah yang menyatukan kita. Sebuah cerita dedikasi dengan cast: 1. Celsa Amegia: heyitsrine 2. Christelle Lorna: ochance24 3. Feine Hewitt: mm_rethaa26 4. Goldie Mary: m...