"Oh, sungguh gedung yang bernilai seni tinggi." Ujarku setengah hati.
Sebenarnya Gedung Kippa ini bukannya amat sangat jelek, hanya terlalu tua dan tidak terurus. Sudah terlalu banyak daun-daun kering menumpuk berserakan, dan cat yang mengelupas di sana-sini. Lihat, bagian depan gedungnya saja sudah seperti pelataran istana, dengan anak-anak tangga yang sangat banyak untuk ukuran pelataran, membuat para wanita bodoh itu kewalahan menaikinya. Belum lagi pintu besar dengan ukiran meliuk-liuk. Aku bisa melihat Christelle yang juga sedikit terpesona dengan arsitektur gedung ini.
"Tidakkah kalian merasa tempat ini horor? Aku merinding melihat pintunya." Celsa si gadis kekanakkan itu berhenti di anak tangga terakhir. Wajahnya berubah kesal karena tak ada yang memedulikannya.
Tapi aku mendekatinya dan mendorongnya berjalan, "Kau akan lakukan apapun demi lipbalm-mu, 'kan? Mau bilang kau tidak serius dan lebih baik membeli lipbalm baru saja sekarang?"
Celsa menepis tanganku, "Kau pikir aku takut, ya? Lihat saja, jika terjadi sesuatu di dalam sana aku takkan membantumu."
"Ya, pegang kata-katamu. Karena aku juga tidak berminat denganmu."
Aku meninggalkannya dan bergabung dengan Spica dan Feine yang tengah berunding didepan pintu Gedung Kippa."Ada apa sekarang?" Tanyaku.
Spica menoleh padaku, "Apa pintu ini harus dibuka dengan acara ritual atau kita langsung saja?"
"Biasanya ada ritual sebelum memasuki tempat kramat seperti ini, 'kan?" Timpal Feine.
Aku memutar bola mataku dan melenguh, "Ayolah, kawan. Ini hanya sebatas permainan dan kau—" Aku mendorong pintu besar itu dengan sekuat tenaga sampai terbuka sedikit, "—mau melakukan ritual bodoh hanya untuk ini?"
Para wanita lantas memandang ke celah pintu.
"Kau jelas lancang." Cetus Feine."Astaga, terserah padamu. Kau bekerja untuk sains dan kau percaya hal-hal supernatural, aku kagum." Balasku.
"Aku bekerja untuk dunia, mengerjakan obat yang belum pernah ada. Kau harusnya berterima—"
"Apa sebaiknya kita masuk sekarang?" Ujar Christelle yang sepertinya lelah dengan pertengkaran.
Kami pun masuk berurutan, mulai dari Spica dan terakhir Proxy. Dan ternyata bagian dalam gedung ini sangat mengejutkan. Mulai dari langit-langit tinggi penuh lukisan dan deretan patung di dinding. Cahaya matahari sebagai satu-satunya penerangan menerobos melalui jendela-jendela besar berjeruji di sepanjang lorong. Lantai yang kami pijak terbuat dari marmer. Tidak ada apa-apa kecuali meja-meja kotak besar dari batu yang berkaki pendek, disusun berjajar sampai ke ujung, dimana terdapat sebuah pintu lagi yang menuju ruangan lain.
BRAK!
Suara pintu yang menutup dengan sendirinya mengagetkan kami. Semua wanita serempak menengok ke belakang.
"Apa kita terkunci disini?" Seru Julie, menatap pintu depan yang kini rapat tanpa celah.
"Ini cuma gedung kosong, kita bisa keluar nanti... Setelah dapat Jeremy Scott-ku." Ujar Proxy.
Aku bisa melihat wajah Spica dan Celsa memucat takut, kurasa mereka terlalu paranoid dengan melupakan bahwa ini masih pagi hari.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Kata Goldie.
Lalu ponsel Spica berbunyi. Dari raut wajahnya, bisa kutebak Mr. P bodoh itu mengiriminya pesan lagi.
"Baiklah, kali ini apa?" Tanyaku.
"Dia meminta kita menunjuk satu orang sebagai pemimpin." Terang Spica.
Proxy menganga dengan gaya berlebihan, "Aku memimpin diriku sendiri untuk mencari Jeremy Scott-ku, apa itu sudah cukup?"

VOCÊ ESTÁ LENDO
The Ardont Syndrome
FantasiaAku tidak mengenal mereka. Tapi aku menjalaninya bersama mereka. Karena, Perbedaanlah yang menyatukan kita. Sebuah cerita dedikasi dengan cast: 1. Celsa Amegia: heyitsrine 2. Christelle Lorna: ochance24 3. Feine Hewitt: mm_rethaa26 4. Goldie Mary: m...