"Dia menyuruh kita berjalan lagi—"
"Berjalan? Si keparat itu... Kemarikan ponselmu, aku mau bicara dengannya!"
Celsa merampas ponsel ditangan Spica, tanpa tedeng aling-aling menelepon ke nomor aneh yang mengaku sebagai Mr. P itu.Goldie yang panik, menahan ponsel yang dipegang Celsa, "Kau serius?"
"Kenapa aku tidak serius?" Celsa menghempaskan tangan Goldie dengan kasar.
"Kau tidak tahu bagaimana rupa Mr. P, jangan cari resiko dengan menelepon langsung padanya." Saran Goldie.
Celsa berubah marah, "Apa maksudmu?"
"Dia benar, kau tidak tahu apakah P itu pembunuh atau psikopat macam lainnya." Timpal Feine dan semua wanita serentak menatap padanya.
"Kau bilang apa?" Hujat Proxy, "Pembunuh? Psikopat?"
Aku merinding. Christelle merapatkan diri kepadaku, "Tolong bilang bahwa kau bercanda." Rengek Christelle.
"Astaga. Kenapa tidak pernah terpikirkan olehku?" Ujar Julie.
"Terpikirkan apa? Jangan sok seram, ya!" Tukas Celsa, tangannya yang memegang ponsel Spica mulai gemetar.
Julie memucat, "Kalau ini hanya permainan belaka. Kita dijebak oleh psikopat gila yang—"
"Sudah kubilang!" Hardikku, "Kenapa kalian semua bodoh dan tidak mendengarkanku? Aku sudah bilang ini hanya permainan! Kalian benar-benar mengacaukannya!"
"Hentikan, Je!" Jerit Christelle.
"Kau juga tetap ikut masuk, itu keputusanmu sendiri. Jadi jangan coba salahkan kami." Tegas Feine, dan aku menghenyakkan kepalaku ke pintu karena dia benar.
"Dia...." Celsa tiba-tiba saja melirih ketakutan.
"Kenapa? Ada apa?" Tukas Spica, mendekatkan diri pada Celsa.
"Mr. P mengangkat teleponnya. Tolong, tolong jawab ini..." Celsa melempar ponsel Spica ke lantai dan refleks wanita lain bergeser menjauhi ponsel itu.
Semua hening, menatap tegang pada ponsel Spica yang menyala, tersambung pada nomor yang sepertinya tak terdaftar. Namun tidak ada suara apapun yang keluar.
"Adakah yang bersedia mematikan ponselnya?" Proxy bersuara.
Julie dengan sigap langsung merampas ponsel Spica dan memutus sambungan, kemudian melempar ponsel itu pada pemiliknya.
Setelah itu semua kembali hening. Yang bisa terdengar hanya suara isakan nafas yang tidak beraturan. Kami terlarut dalam pikiran kami masing-masing.
"Well—" Goldie memecah sunyi, "Tidak ada yang tahu siapa Mr. P itu. Jangan berasumsi aneh-aneh. Pi-pikirkan saja yang positif, oke?"
Aku mengerti kalau Goldie berusaha menenangkan, tapi entah bagaimana rasanya sangat salah tempat. Semua wanita jelas tidak bisa dihibur saat ini. Apalagi cara bicara Goldie yang terbata-bata ketakutan itu malah semakin menambah ketegangan.
"Hei-hei? Dia benar, yo!" Proxy memasang senyum aneh, "Belum tentu P itu psikopat atau pembunuh. Dalam situasi seperti ini kita mudah termakan omongan. Yo man, gunakan akal sehat kalian."
"Ckck... Mengagetkan kau bisa berkata seperti itu." Sinisku.
"Bukan waktunya berdebat. Lebih baik pikirkan apa yang akan kita lakukan sekarang." Ujar Christelle.
"Apa kita masih akan mengikuti instruksi atau lakukan dengan cara kita sendiri?" Spica bertanya bijak.
"Oh, dengan cara sendiri tentunya." Balasku.

DU LIEST GERADE
The Ardont Syndrome
FantasyAku tidak mengenal mereka. Tapi aku menjalaninya bersama mereka. Karena, Perbedaanlah yang menyatukan kita. Sebuah cerita dedikasi dengan cast: 1. Celsa Amegia: heyitsrine 2. Christelle Lorna: ochance24 3. Feine Hewitt: mm_rethaa26 4. Goldie Mary: m...