The Other Side

41 6 6
                                    

Jadi di part ini hanya ada cerita tentang satu orang, saya keterusan nulis dan jadilah sebanyak ini. Maaf ya ^^v Saya membuat ini tanpa ada pengaruh dari real life, jadi dimohon jangan sakit hati:( ini murni karangan supaya cerita ini kerasa dikit thriller-nya. Selamat membaca!
----------------

Tiba-tiba saja aku berada di sebuah ruangan bergaya klasik. Bentuknya pentagon, dengan dinding kayu coklat dan lantai yang dilapisi karpet hijau tua. Seperempat temboknya, di atas dinding kayu, terdapat deretan jendela yang merangkum ruangan ini sampai ke langit-langit, —dimana sebuah chandelier menggantung— membuat banyak cahaya matahari menembus ke ruangan ini, menyinari debu-debu kecil yang terbang bebas. Tempat ini terasa nyaman dan terbuka.

Baru dua kali melangkah, aku menyadari kalau aku tidak sendiri. Terdapat selusin orang duduk diatas kursi plastik, melingkar di tengah pentagon. Orang dari berbagai usia, dengan keadaan yang berbeda-beda, tapi bisa kupastikan semua orang itu sakit. Barulah aku menyadari kalau tempat ini adalah semacam perkumpulan penyandang cacat, pecandu alkohol, atau orang sakit. Kau pasti tahu, tempat dimana mereka berkumpul untuk saling bercerita dan berusaha pulih dari keterpurukan lewat interaksi.

Tapi aku bisa melihat sosok yang lain— seorang wanita muda. Dia berbeda. Sama sekali sehat, kulitnya putih dan matanya penuh sinar kehidupan yang memancarkan semangat. Aku langsung mengenalinya.

Spica.

Wanita Asia itu duduk diantara mereka, tampak mencolok karena kesegarannya, mengenakan blouse putih dan rok abu-abu. Rambutnya digerai. Dia tampak seperti seorang gadis dari masa lampau.

Spica sedang bicara, sepertinya memberi motivasi dan kata-kata lembut —aku tidak terlalu mendengarkan karena fokus pada sosok gadis disampingnya, familiar. Gadis itu kurus sekali, wajahnya cantik meskipun pucat. Rambutnya yang berwarna madu tergerai tipis. Dia memakai kaus putih dan celana gombrong. Aku memutar otak tapi tak perlu waktu lama karena aku baru saja melihat dia di simulasi kedua.

Eva, gadis yang ditangisi Feine.

Eva yang sakit itu duduk disamping Spica, memerhatikan Spica dengan senyum dan sorot kagum.

Situasinya membuatku agak terguncang hingga tidak menyadari pertemuan ini berakhir setelah Spica memimpin doa. Orang-orang mulai pergi. Tinggal Spica dan Eva saja di ruangan pentagon ini.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Spica lembut kepada gadis itu.

Eva memandangnya, "Tetap baik. Terima kasih sudah memimpin pertemuan kali ini. Kuharap kau selalu datang untuk bicara. Kata-katamu begitu menyegarkan, semua orang menyukaimu."

"Baiklah, kuantarkan kau pulang ke Panti."

Spica merangkul Eva dan aku mengikuti mereka turun ke bawah, keluar lewat pintu kayu dan berjalan menuju sebuah panti. Seorang wanita tua yang sepertinya pengurus panti menghampiri mereka dengan dua orang anak kecil di genggamannya.

"Terima kasih, nona Marrine," katanya pada Spica, "karena sudah membuat gadis ini lebih ceria."

Spica dan Eva tersenyum senang, "Dia gadis yang baik. Tidak sulit membuatnya ceria."

"Baiklah, kupikir cukup untuk hari ini. Eva, kau boleh masuk." Pengurus itu memandang Eva yang memberi pelukan perpisahan pada Spica lalu masuk ke dalam panti.

Kemudian Spica dan Pengurus Panti itu terlibat percakapan mendalam yang mengharuskanku berdiri lebih dekat untuk dapat mendengar.

"Penyakitnya semakin parah. Aku tidak tahu harus berlaku bagaimana melihat dia yang semangat untuk sembuh, tapi sudah tidak mungkin..."

Spica menggenggam tangan si Pengurus Panti, "Dia akan baik-baik saja. Selalu ada harapan. Baiklah, aku harus pergi. Katakan padanya aku tidak bisa datang dalam satu minggu kedepan, oke?"

The Ardont SyndromeWhere stories live. Discover now