Bagian 10

17.7K 1.5K 49
                                    

Gue pulang ke Indonesia dengan tangan hampa. Tanpa mendapatkan informasi penting atau apapun yang bisa gue dapatkan mengenai Emily. Sangat di sayangkan dan bodohnya diri gue. Kenapa gue tidak menyapa dan meminta nomor telponnya langsung? Kenapa gue harus menunda?

Kesempatan itu tidak datang dua kali. Kenapa gue tidak ingat kata-kata ini? Lihat, gue membuang kesempatan dengan percuma. Mungkin benar, gue dan Emily tidak berjodoh. Kami tidak bisa saling berhubungan lagi. Sebagai teman apalagi sebagai kekasih.

"Bang Ricky, Ada telpon,"ucap Dylan sambil mengoyang-goyangkan badan gue yang tiduran di sofa.

"Dari siapa?"tanya gue.

"Bentar Dylan baca dulu, A-S-H-L-E-Y jadinya Ashley, benar enggak bang?"tanya Dylan.

Gue menepuk kening, lupa kalau Dylan baru bisa membaca dengan mengeja. Terlalu banyak pikiran jadinya hal kecil seperti ini terlupakn. Tadi siapa yang nelpon? Ashley? Kenapa dia? Thomas berperilaku aneh lagi?

"Enggak mau di angkat telponnya ya?"heran Dylan.

Aku terlalu malas untuk mengambil HPnya. Dylan pasti tidak mau mengantar HPnya ketempat gue karna dia takut HPnya jatuh. Kenapa gue ngeletakin HPnya di meja makan? Ricky, Ricky, mulai tidak jelas guenya.

Dengan berat hati dan langkah malas, gue mengambil HP. Ashley juga, kenapa dia menelpon sekarang? Apa dia mau pamer kalau sudah baikkan dengan Thomas? Atau dia mau meledek gue karna menyiakan kesempatan? Awas saja kalau sampai dua ini yang dia katakan saat menelpon gue. Tapi, Ashley bukan seseorang yang kurang kerjaan seperti gue.

"Lama banget sih kak, udah di telpon 3 kali juga,"

Gue melihat layar telpon dengan tatapan aneh, belum juga menyapa sudah terkena bawelan Ashley.
"Ada apa sih?"

"Oh ya, gara-gara kesal enggak di angkat jadi lupa tujuan nelpon,"

"Ya cepetan ngomong, jangan bawel terus,,"kesal gue.

"Itu tadi kak Lucy ke cafe gue, dia ngerjain gue. Terus gue ucapin semuanya lah yang ngedukung kak Ricky, dia marah kak Ricky cerita masalah pribadi kalian dan sepertinya dia nangis. Gue takut kalau dia kenapa-kenapa, kalau gue yang nyusul kak Lucy kan sama aja pastinya di cuekkin,"

Gue memutar bola mata, mendengar penjelasan Ashley yang terlalu panjang. "Intinya apa?"

"Kakak temui kak Lucy, kan kalau sendirian dia bisa kenapa-kenapa,"

"Malas gue, dia udah besar pastinya udah bisa mikir sendiri mana yang baik dan buruk. Dia pasti mikir gimana bisa dia enggak kenapa-kenapa,,"tolak gue.

Gue memang malas berhubungan dengan Lucy, lagi. Sudah cukup selama ini dia selalu tidak memperdulikan gue. Sudah cukup perjuangan gue selama ini. Ada masa di mana seseorang sudah terlalu lelah berjuang untuk sesuatu yang tidak pasti. Dia saja tidak mau membuka hatinya untuk gue, kenapa gue harus membuka hati untuknya selalu?

"Kakak, coba lo bayangin kalau seorang perempuan nangis atau apa. Temui deh kak, anggap aja ini karna gue. Gue yang buat dia gitu dan mungkin ini kesempatan kakak untuk ngejelasin kesalah pahaman itu,"

Gue memakan kue yang ada di meja makan, ternyata enak. "Di bilangin gue malas ya malas, dan gue udah berhenti mencoba menjelaskan semuanya ke Lucy. Coba lo bayangin, kalau gue udah ngejelasin panjang lebar dan dia masih enggak nerima itu. Gimana sakit hatinya gue?"

Terdengar Ashley menghela napas kuat, "Gue tahu gimana sakitnya, jadi gini aja. Anggap aja ini demi gue, demi Ashley tercinta. Please kak,"

Kali ini giliran gue yang menghela napas, sepertinya gue yany harus mengalah. "Oke, dia dimana?"

AftertasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang