"Ricky, gue boleh pulang bareng lo?"tanya seseorang saat gue membuka pintu mobil.
Gue terdiam, suara itu. Suara seseorang yang belakangan ini sangat sering gue dengar. Seseorang yang belakangan ini selalu ada buat Dylan, bukan gue. Kalau sama gue, dia tetap menjadi Lucy yang sekarang. Ya dia, Lucy.
Gue membalikan tubuh, menghadapnya. "Lo mau ketemu sama Dylan lagi?"
Lucy mengangguk, "Enggak apa-apakan?"
Gue menghela napas, gue tolak juga dia bakalan maksa. "Ayo."
Selama perjalan, selalu sama. Hanya suasana hening yang tercipta. Berapa panjang yang gue obrolkan, dia akan menjawabnya dengan datar dan singkat.
"Belakangan ini, lo sering merhatiin gue?"tanya gue membuka obrolan.
"Maksud lo?"tanya Lucy.
"Lo selalu tahu kalau gue mau jemput Dylan, berarti lo selalu merhatiin gue ke sekolah naik apa,"Jelas gue.
"Mungkin, iya.,"Jawab Lucy datar.
Dia masih sama dan selalu sama. Dia seakan mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Jika dengan gue dan dengan Dylan. Dia selalu tersenyum di depan Dylan, tapi di depan gue? Tersenyum tipis saja, tidak mau.
Gue sudah berjuang, apapun gue lakukan untuk membuka hatinya. Hati yang masih terlalu keras. Tapi, usaha yang gue lakukan seperti percuma. Walaupun sekarang, gue sudah terlalu sering bertemu dengannya tetap saja semuanya percuma.
Gue seakan sudah merasakan, kalau perjuangan ini tidak akan pernah ada hasilnya. Perjuangan yang gue lakukan sudah gagal. Gue sudah berapa kali berperang, karna ini gue bisa mengambil kesimpulan kalau gue gagal dan kalah.
Lucy menahan tangan gue, "Gue aja yang jemput,"
Tanpa jawaban, Lucy sudah keluar dari mobil. Dia berjalan dengan senyumnya. Senyum yang selalu gue rindukan. Kapan dia memberikan senyum itu ke gue? Atau, dia tidak akan pernah memberikannya?
Hidup gue, bukan semuanya tentang dia. Tentang dirinya, tentang perjuangan gue. Hidup gue seharusnya bukan seperti ini. Hidup gue seharusnya, tidak hanya memikirkan masalah tentang dirinya. Seharusnya, gue memilki kehidupan yang tidak hanya tentang dirinya.
3 bulan. 3 bulan gue berjuang sebagai Ricky yang baru. 3 bulan itu juga, gue harus menahan rasa sakit. 3 bulan ini, bukan hanya di hiasi dengan rasa sakit. Terlalu banyak yang terjadi dan perubahan dalam diri gue.
Awalnya, gue bahagia. Gue bahagia bisa selalu dekat dengannya, bisa selalu melihat senyumnya, bisa mengobrol dengannya walau sebentar dan biasa berduaan denganya. Hanya awalnya saja, setelah itu perasaan gue membrontak. Membrontak untuk meminta lebih.
Meminta senyuman itu, senyuman yang dia tunjukkan bukan untuk dirinya. Meminta selalu dekat dengannya tanpa ada orang lain. Meminta mengobrol dengannya, senyaman mungkin seperti dulu. Meminta agar Lucy selalu ada dan selalu di samping gue.
Semenjak perasaan ini muncul, yang bisa gue lakukan hanyalah memperhatikan mereka. Memperhatikan mereka dalam diam, tanpa mau ikut campur. Seakan gue hanya penjaga mereka atau orang yang tidak terlihat oleh mereka. Gue cuman mau mereka berdua bahagia. Dua orang yang gue sayangi, Lucy dan Dylan.
Tapi, lagi-lagi perasaan gue membrontak. Membrontak untuk menyelesaikan akting yang gue lakukan. Hati gue sudah lelah, sudah tidak sanggup untuk terlihat kuat.
Gue tahu, kalau gue adalah laki-laki. Tapi, apa laki-laki itu tidak boleh lemah? Apa laki-laki harus selalu terlihat kuat?
Apa mereka berpikir kalau hati laki-laki terbuat dari batu? Bahkan, batu saja bisa terkikis secara perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftertaste
Novela Juvenil"You don't like me again? Cool, cause I don't wake up everyday to please you." - Ricky Matthew I'll leave you with the memory and the aftertaste. Catatan sebelum membaca : Tanda baca masih berantakan dan ceritanya gak jelas:)