Juni, Hari Ayah

35 4 0
                                    


"Bagaimana bahumu?"

"Sudah seperti baru."

Aku tersenyum. "Bagus."

"...celemekmu keren."

Aku menunduk dan mendapati celemek masak warna ungu menutupi bagian depan tubuhku. "Oh, God," desisku malu, kemudian melepas dan menyampirkannya di bahu. "Hari Ayah. Mom menerorku untuk memasak sarapan spesial buat Dad sebelum kami berangkat."

Inilah sesi percakapan paling bersahabat di antara kami sejauh ini. Aku mengulurkan tangan, teringat tujuan utama gadis ini muncul di terasku pagi-pagi buta bukanlah untuk sekedar beramah-tamah. Bungkusan daging berpindah tangan seperti biasa.

Aku sudah hendak beranjak masuk, namun Shalimar tidak langsung berbalik pergi. Ia kelihatan ragu sejenak, melirikku, kemudian memusatkan fokus pada pintu di belakangku dengan canggung. Dahinya berkerut benar-benar serius.

"Kudengar kau dan Adrien...."

Kata-katanya menggantung, namun aku bisa menebak ke mana arah pembicaraannya. Aku bersitegang dengan kawan-kawanku sejak insiden latihan football tersebut. Tentu saja ketegangan itu dipicu karena aku bersikeras bahwa sikap Adrien sudah keterlaluan, sementara Adrien menjulukiku antek teroris. Aku tidak terima, sehingga pada akhirnya kami terpaksa dilerai sebelum terjadi baku hantam lebih lanjut. Sejak itu aku memutuskan menjauh sejenak dari tim, kecuali untuk kebutuhan latihan.

"Yeah, persetan. Aku running back yang tangguh, dia tidak bisa berbuat apa-apa tanpaku. Jadi, sebenarnya tidak masalah," aku mengedikkan kepala. "Dia tetap butuh aku dalam tim."

Matanya tidak lagi terpancang pada pintu. Ia melirikku sejenak sebelum jatuh lagi pada objek lain—apron ungu yang tersampir di bahuku. Gadis itu menarik napas. "Kubilang, kau tidak perlu melakukan apa-apa, Vaughn. Keadaan akan buruk bagi kita jika kau bereaksi."

Aku bersidekap defensif. "Well, terakhir kali aku cek, kau membenciku karena aku diam saja, kan?"

"Erm..." Shalimar, untuk pertama kalinya, tidak terlihat penuh perlawanan. Malahan ia kelihatan sangat tidak enak. "Yah, kau penindas dan aku memang seharusnya membencimu. Tetapi paling tidak kau tak pernah berbuat apapun. Kau hanya di sana dan menonton."

"Adrien sudah keterlaluan, dia tahu betapa kuat lemparannya. Aku akan membenci diriku kalau membiarkanmu teronggok di sana seperti boneka perca dengan bahu bergeser seperti itu," ujarku keras kepala, berusaha menutup perdebatan diam-atau-tidak ini. "Kurasa kini aku tidak bisa hanya jadi penonton lagi."

Tak kuduga senyum timpang terpeta di wajahnya yang dinaungi kerudung kelabu gelap. "Terima kasih," cicitnya.

"Whoa, apa? Katakan lagi? Terima—apa tadi?"

Shalimar mendengus dan beranjak menuruni undakan teras. "Jangan besar kepala, Vaughn."

Aku menyeringai lebar. "Terima kasih kembali, Esfandiari."

Year of Shalimar [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang