September, Idul Fitri

17 2 0
                                    


"Yo."

"Hei! Bukannya kau ada kelas?"

Shalimar kelihatan kaget menemukan aku berdiri di koridor kosong di luar ruang kepala sekolah pada jam pelajaran. Ia baru keluar dari ruang kepala sekolah dan mengantongi izin pulang lebih cepat untuk merayakan Idul Fitri setelah praktikum wajib yang tidak bisa ditinggal di pagi harinya.

Aku nyengir lebar berjalan mensejajari gadis itu. "Yep, kabur sebentar. Jadi, apa rencanamu hari ini?"

Gadis itu sungguh-sungguh kelihatan begitu senang hari ini. Ia mengenakan kerudung agak cerah, warna nila pucat yang seakan melengkapi rona pada wajahnya yang berseri. "Kami akan ke rumah pamanku di Michigan. Hanya bertemu keluarga dan teman-teman, kemudian makan bersama."

"Kebab?"

"Dasar kulit putih rasis," Shalimar pura-pura jengkel. "Kalau kalian lihat aku artinya sama dengan Timur Tengah sama dengan kebab ya?"

"Yah, atau teroris," candaku yang dibalas dengan tonjokan di lengan. "Terus apa lagi?"

"Mmm... bibiku jago masak kale pache."

"Apa, tuh?"

Senyumnya mengembang lebar dari kuping ke kuping. "Itu semacam sup kaki dan kepala kambing yang dimasak utuh. Benar-benar utuh, sampai ke tanduk, mata, lidah, gigi, otak yang sedap diseruput—"

"Ergh jijik. Gimana bisa sih kalian tidak mau makan babi yang gurih, tapi mau-maunya makan mata kambing?"

Kami menikung keluar dari bangunan sekolah melintasi lapangan parkir yang lengang. Aku tersenyum mendengarkan penjelasan semangat Shalimar soal Idul Fitrinya, soal konsep pemurnian jiwa di baliknya, sampai ke makanan-makanannya yang berwarna dan membuatku lapar (kecuali kale pache-nya). Matahari September bersinar suram menaungi kami, kemudian menggelap.

Aku mengangkat wajah untuk melihat apa—tepatnya siapa—yang merintangi jalanan kami. Seharusnya tidak perlu kaget saat seringai familiar Adrien dan wajah-wajah lain yang selama ini kuidentifikasi sebagai temanku. Shalimar kehilangan ronanya, namun terlalu keras kepala untuk menunjukkan rasa gentar.

"Ah, siapa ini kalau bukan si teroris dan anteknya," Adrien seperti biasa memutuskan untuk jadi orang paling berengsek. Itu perannya. Mataku melirik pada Luke yang menolak menatapku. "Mau ke mana kalian?"

"Minggir, Adrien," gumamku pendek sembari melangkah maju. Shalimar merapat di sisiku.

Sungguh bodoh jika kupikir akan lolos dengan mudah. Beberapa bulan yang lalu, aku masih jadi bagian dari mereka. Kami suka cabut di tengah jam pelajaran untuk "football team joint meeting", yang berarti mengganja di bawah bangku penonton di lapanan futbol. Saat-saat itu rasanya lucu sekali melihat Mike menggotong dan melempar anak-anak yang sial berpapasan dengan kami ke dalam bak sampah. Benar-benar tidak ada yang berani dengan kami saat itu.

Sayangnya, jelas kemewahan menjadi kami tidak lagi berlaku untukku.

Bahu Adrien menyodok bahuku, kemudian sikunya mendorongku mundur. "Kubilang, mau—" sikunya mendorongku lagi, "—ke mana? Siapa lagi targetmu, ha?"

"Ad, cut it."

Ia mundur. Sebuah seringai melengkung miring di wajahnya. Tangan Adrien mengusap mulutnya, kemudian ia mendengus seakan ada yang lucu sembari menoleh kepada teman-temannya. Kepalanya menggeleng-geleng seolah kehabisan akal. Aku kenal gestur itu dengan sangat baik... sayang, artinya sama sekali tidak baik.

Mataku melirik tangan kanannya. Ini Adrien si Canon, quarterback yang lemparannya nyaris 3.000 yards. Tinju itu tidak akan mendarat dengan lembut jika sampai—

Kemudian sejuta bintang meledak di wajahku. Semua hilang dari pandanganku selama sedetik, sebelum kembali dengan sensasi rasa nyeri luar biasa di hidungku. Meski kabur, aku bisa melihat Adrien diseret menjauh, Shalimar menyambar lenganku, dan darah yang hangat anyir meleleh di wajahku. Aku sedikit terhuyung, terkejut bahwa tinju kiri Adrien bisa memberi hook yang menyakitkan sekaligus merasa tolol hanya mengantisipasi tangan kanannya. 

Shalimar berjinjit untuk menekan segumpal tisu ke hidungku, sekaligus berusaha menyanggaku tetap berdiri. Aku mendongak untuk menghentikan darah yang terus mengalir. Wajahnya sangat ketakutan, bercampur amarah. "Those bastards...."

"'Au mehumpat."

Ia menghela napas. "Astaghfirullah," gumamnya. "Aku kesal sekali, sungguh. Bajingan-bajingan itu... ini semua gara-gara aku. Kau tidak perlu membelaku di depan orang-orang, Adam."

Aku melepas tisu bernoda darah itu, menatap Shalimar lurus-lurus. "Berhenti menyuruhku bersikap baik padamu. Kita teman, oke? Di belakang dan di depan mereka, kita tetap berteman."

Wajahnya memerah. "Adrien juga temanmu, dan Luke, juga Mike. Mereka... kalian harusnya tidak ribut begini."

Aku meludahkan darah yang terasa seperti karat di mulutku. "Bukan teman yang baik, ternyata. Tidak layak diperdebatkan, oke?"

Gadis itu menunduk. "Itu sebabnya aku tidak pernah melawan, kau tahu?" Suaranya jadi serak. "Karena aku sendiri tidak pernah mampu memaafkan abangku... Ali... keparat."

Aku paham bahwa abang Shalimar adalah akar semua permasalahan ini.

Bertahun-tahun yang lalu terjadi serangan bom bunuh diri di Chicago yang menewaskan tujuh orang, salah satunya seorang saudara jauh Adrien. Ketika nama pelakunya terungkap, Lake Forest yang tenang terguncang dengan pemberitaan mengejutkan bahwa salah satu warganya bertanggung jawab pada insiden tersebut. Ali Esfandiari, putra Khaleed Esfandiari si pemilik toko daging, tewas membawa tujuh korban. Media berspekulasi, semua menghubungkan kejadian itu dengan jaringan teror kaum muslim. Segelintir murid muslim di sekolah kami menjadi sasaran amarah, terutama Shalimar.

"Hey, dengar. Ali memang bersalah, namun kesalahannya bukanlah kesalahanmu, Shalimar. Ali tidak berhak melakukan itu, sama halnya dengan Adrien yang tidak berhak menindasmu terus-terusan."

Shalimar tertunduk dan mengusap air matanya dengan punggung tangan. "I'm so sorry Adam..."

"No need to say sorry. Now, go." Aku melambai dan mendongak lagi, menekan tisu ke hidungku. "'Helamad 'Dul Firrr."

"Thanks."

Year of Shalimar [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang