Juli, Hari Kemerdekaan Amerika

19 2 0
                                    

"Kau sedang puasa hari ini?"

"Ya."

"Ini puasa tidak wajib?"

"Sunnah."

"Oke. Lalu nanti ada bulan Ramadhan? Jadi, kau berpuasa sebulan penuh, sebelum matahari terbit, sampai matahari terbenam?"

"Mmhm."

"Musim panas begini? Matahari tenggelam lebih lama, kan? Sebulan penuh?"

"Yep."

Aku bersiul. "Kayaknya aku bisa mati kelaparan dan minum keringatku sendiri siang-siang."

Shalimar tertawa. Kami sedang duduk di undakan teras rumahku, menghadap ke halaman yang dibanjiri sinar matahari. Jalanan didominasi warna merah, putih, dan biru merayakan Hari Kemerdekaan. Aku menyeruput es limunku untuk mengenyahkan dahaga dengan rasa syukur luar biasa. Es batu bergemelutuk di dasar gelasku yang kosong, lalu aku baru sadar dan melirik Shalimar dengan penuh rasa bersalah.

"Astaga, apa yang kulakukan?" Aku buru-buru menarik seteko penuh es limun ke balik punggung. "Seharusnya kau tidak melihatku minum."

"Santai, Vaughn, aku bukan anak kecil yang belajar puasa lagi. Melihatmu minum tidak akan membuatku menggadaikan iman." Ia tertawa lagi, kemudian terdiam rikuh melihatku memerhatikannya. "Ada apa? Apa yang salah?"

Tentu segalanya akan jadi canggung kalau aku jujur berkata ia nampak sangat manis jika tertawa seperti itu, maka aku menggeleng. Lagipula, itu terdengar menyeramkan jika diucapkan keras-keras. Pertemanan kami dimulai dengan hati-hati dan komentar tak perlu macam itu hanya akan membuat situasi jadi aneh.

"Tidak, hanya bertanya-tanya. Jadi, kau tidak makan babi?"

"Tidak, itu haram."

Aku menggeleng kasihan, karena sesungguhnya iga babi adalah anugerah terlezat di dunia ini. "Tidak minum alkohol?"

"God, no."

"Tidak menyentuh anjing?"

"Mmm, aku tidak bisa berhenti menyentuh anjing. Mereka sangat lucu! Namun, liurnya najis bagi kami jadi harus dibasuh tujuh kali jika terkena, salah satunya dengan tanah."

Aku mengernyit. "Terdengar seperti ritual aneh suku Afrika sana."

"Mmm, secara teknis sih suku padang pasir, tapi di Timur Tengah," Shalimar mengangkat bahu. "Yah, aku hanya menjalankan perintahNya."

Seorang anak tetangga, gadis pirang umur lima tahun berpipi sebulat dan semerah apel berlari kecil muncul di depan pagarku untuk mengambil bolanya. Ia memakai bendera amerika diikat menyerupai jubah di belakang tubuhnya. Tak berapa lama ibunya datang kemudian air muka wanita itu berubah saat melihat kami—Shalimar tepatnya—dan menyambar anaknya pergi.

Kami terdiam. Aku meliriknya hati-hati.

"Apa membantai orang kafir ada dalam perintahNya?" Tanyaku, kemudian buru-buru menambahkan, "maaf kalau kau tersinggung, aku hanya kepingin tahu."

Shalimar kelihatan sedih. "Aku tahu kami diperbolehkan melawan penjajah, teroris, mereka yang menyerang dan membunuh orang tak berdosa... namun kami dilarang keras memerangi orang yang tidak menyerangmu terlebih dahulu," jawabnya lirih. "Tidak peduli apa ras atau agamamu, kami tidak diperbolehkan melawan mereka yang tidak memerangi kami."

"Manusia itu mengerikan," ujarku pelan.

Gadis itu menghela napas dan memicing menatap langit yang cerah. "Kita hanya manusia, Vaughn. Manusia penuh sifat bodoh, picik, penuh kesalahan. Aku percaya semua agama mengajarkan kebaikan—tentu saja kecuali kau pergi ke aliran yang mengajarkan sebaliknya. Manusia lah yang cukup bodoh menafsirkan kebaikan menjadi pembenaran untuk memenuhi egonya dan menghancurkan lebih banyak."

Aku ikut memandangi langit, meminta maaf kepada siapapun yang mengawasi kami di atas sana.

Year of Shalimar [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang