Mei, Hari Pahlawan

37 5 0
                                    


"Yo, Ninja! Tangkap!"

Adrien adalah quarterback kami dan memiliki kekuatan lengan yang membuatnya dijuluki Canon. Lemparannya mampu melesatkan bola kulit tersebut sejauh hampir 3.000 yards dengan jitu dan ia sangat bangga dengan prestasinya tersebut. Bahkan, Adrien merasa akan menjadi quarterback legendaris Aaron Rodgers berikutnya. Ia adalah satu-satunya orang di tim kami yang benar-benar kepingin berlaga di NFL secara serius selepas sekolah.

Jadi, bayangkan betapa horor langsung merayapiku ketika Adrien melesatkan bola itu ke arah Shalimar yang sedang melintas.

"Tidak, Ad!"

Aku berlari setengah mati untuk mengejar bola yang bergerak bagai proyektil tersebut, namun tentu saja kekuatan lemparan Adrien bukan tandingan meski kedua kakiku telah berpacu sekencang mungkin. Seruan-seruan mengudara di sekitar kami dan aku hanya mampu mengikuti bola tersebut melambung, lalu menukik dengan pasti, sebelum akhirnya melesak menghantam Shalimar di tepi lapangan. Buku-buku dalam pelukannya berhamburan saat gadis itu roboh tersungkur menyentuh tanah merah trek lari yang mengitari lapangan.

Seruan dan tawa keji membahana kala timku melakukan high five, ditimpali para cheerleaders yang menghentikan latihan rutin mereka hanya untuk menyaksikan peristiwa seru tersebut. Alice ada di sana, menyeringai kesenangan.

Lututku lemas. Aku hanya mampu membalikkan badan ke arah mereka dengan perut yang serasa teraduk. "WHAT THE FUCK IS WRONG WITH YOU?" Seruku marah. "YOU DON'T HAVE TO DO THAT!"

Cengiran lenyap dari wajah Adrien. "Dude! What is wrong with YOU?" Balas Adrien dengan alis bertaut sambil mengangkat bahunya seolah tak berdosa. Di belakangnya, Luke dan Mike menatapku seakan aku sudah sinting. "Aku menyuruhnya menangkap, kan?"

Shalimar tidak bergerak di sana dan tidak ada seorang pun yang menunjukkan tanda-tanda akan membantunya.

"Shit!" Aku mengumpat gusar, kemudian melempar helm di tanganku ke rumput. Teman-temanku kelihatan keheranan dan berseru memanggilku saat aku berlari menyeberangi lapangan menuju Shalimar yang masih tidak bergerak.

Tanganku menyingkirkan kerudung yang merosot menutupi wajahnya dan kulihat wajahnya basah. "Kau bisa bangkit?" Tanyaku. Ia tidak menjawab, maka aku menyelipkan tangan ke balik punggungnya untuk membantunya berdiri.

"Fuck off...." desis Shalimar tajam, namun lemah.

"No, let me help you."

Ia tidak melawan lagi. Aku merasakan tubuhnya gemetar dan matanya yang basah menatap tanah dengan amarah luar biasa. Baju dan wajahnya bernoda tanah merah, bibirnya berdarah akibat tersungkur telak tadi. Ketika ia telah berdiri sepenuhnya, perutku serasa amblas melihat bahunya menonjol secara tidak wajar. "Bahumu...."

Gadis itu jelas sedang kesakitan, namun ia tidak merintih atau mengerang. Shalimar mengusap darah di bibirnya dengan lengan satunya dan susah payah menelan ludah. "Tidak apa-apa," ia berjalan melewatiku, hendak memungut barang-barangnya yang bertebaran.

"Kau bercanda?" Sentakku. "Berdiri di situ. DIAM."

Aku mengumpulkan barang-barangnya secepat mungkin, karena dari sudut mata rekan-rekan setimku dan para cheerleaders sekarang benar-benar menontoni kami. Barang terakhir yang kupungut addalah kitab sucinya yang tergeletak terbuka dengan deretan huruf Arab yang tidak kumengerti. "Ayo." Desakku pendek.

Shalimar bergerak untuk merebut barang-barangnya. "Kemarikan."

"Mobilku di sana. Kau bisa jalan? Kuantar kau ke rumah sakit."

"Kau tidak perlu—"

Kudengar Luke berseru memanggilku, lalu kudengar kasak-kusuk tidak setuju timku atas apa yang kulakukan, dan Shalimar merepet mengungkapkan keberatan-keberatannya. Namun aku terus berjalan sehingga ia terpaksa mengekor terseok di belakangku.

Year of Shalimar [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang