Oktober, Hari Colombus

13 2 1
                                    


Angin kering bertiup kencang ketika aku memasuki parkiran yang lengang. Mataku disipitkan untuk mencegah debu masuk, sementara tanganku mengais isi ransel mencari kunci mobil yang terselip di antara jersey kotor, handuk, dan botol minum. Ketika aku menemukan kuncinya dan mengangkat kepala lagi, Luke muncul dari balik mobilku. Ia masih menggunakan pelindung bahu dengan helm di tangannya.

"Hey," aku menyapanya dengan senyuman canggung.

Luke sudah berteman baik denganku semenjak kami SMP dan harus kuakui agak menyedihkan melihat Luke lebih memihak kepada Adrien daripada kepadaku.

Luke tidak menjawab, namun ia memberikan senyuman yang sangat menyakitkan untuk dilihat. Seperti terpaksa. Kepalanya menunduk, memerhatikan mobilku, kemudian setelah beberapa saat ia mengangkat wajah untuk memandangku. "Mengapa, Adam?" Bisiknya, memandangku dengan tatapan putus asa. "Mengapa kau harus melakukan ini?"

Luke benar-benar kelihatan sangat putus asa dan tidak nyaman. Matanya bergerak-gerak ke sekitar kami, mungkin takut jika Adrien melihatnya menghampiriku. Ia terus menjilat bibirnya gugup, menatapku sekilas, kemudian matanya nyalang lagi.

"Dengar, dude, apa yang kalian lakukan sudah tidak lucu. Ini bukan sekedar permainan lucu-lucuan. Bukan lagi keisengan, namun wujud rasa benci dan dendam Adrien," aku maju selangkah. "Kalian menyakiti Shalimar. Ayolah! Dia hanya seorang perempuan, Luke. Hentikan itu semua, oke?"

Luke menerjang maju, menarik kerah varsity jacket-ku begitu keras hingga terdengar bunyi koyak. Pelindung tubuhnya menabrak dadaku sehingga aku terhuyung ke belakang. "Kau harus pergi sekarang," bisiknya cepat, "aku disuruh menahanmu. Adrien ingin menghabisimu."

Rahangku mengeras. "Aku tidak akan kabur."

"Lari, kau bodoh," ia menyentakkan tubuhku, mendorongku ke arah mobil. "Adrien benar-benar serius kali ini. Ia ingin melumatmu jadi bubur, aku tidak bohong, Adam. Kau, atau Shalimar. Adrien benar-benar sudah gila."

Jantungku amblas. Aku berbalik dan ganti mendorong Luke, menahan lenganku di depan lehernya hingga ia terbatuk. "Dengarkan akal sehatmu, tolol. Kau mau jadi teroris, hah? Menyiksa orang-orang tak bersalah, hah, Luke?" Aku makin menekan lehernya, membuat belakang kepalanya terbentur ke kap mobil. "Hentikan omong-kosong ini. Shalimar tidak bertanggung jawab atas apapun yang Adrien tuduhkan."

Luke megap-megap.

"Jadi kalau—"

Ia melotot. Aku mundur.

"Kau tercekik?"

"Kunci, kunci, kunci!"

"Huh?"

Tak sabar, ia memutar kepalaku sampai berderik. Mataku membulat. Di sana, Adrien berderap memasuki lapangan parkir, diikuti beberapa orang dari tim football lengkap dengan pelindung tubuh dan helm. Mereka membawa serta beberapa orang dari tim baseball, lengkap pula dengan pemukulnya.

"Ya, ya, simpan pidato heroikmu," ia bergegas berlari menuju pintu pengemudi. "Aku tidak mau mengulangnya saat pemakamanmu nanti."

Aku melempar kunci pada Luke. "Kau yang nyetir, sumpah, aku tidak bisa mikir kalau panik."

"Iya aku tahu. Cepat, bego!"

Kami buru-buru melompat ke dalam mobil dan menderu kabur.

Year of Shalimar [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang