Januari, Tahun Baru

13 1 0
                                    


"Kami baru masuk Dearborn, Mom. Ya. Ya, aku baik-baik saja. Mm hm. Ya, Mom. Luke yang mengemudi. Kau tidak ngantuk kan Luke?"

"Tidak, Mrs. Vaughn, tenang saja!" Luke menyahut.

"Nah. Oke, kami mesti mencari rumahnya. Bye Mom, I love you."

Tanganku terasa sedingin es ketika kami berbelok memasuki Steadman Street yang lengang. Rumah-rumah nyaris identik berjejer rapi di sepanjang jalanan perumahan tersebut. CJ milik Luke menembus selubung sinar matahari yang berpendar pucat menembus awan awal tahun kelabu. Jemariku bertaut, kaku. Aku meremas-remas tangan gugup di atas pangkuan, sementara Luke mengemudi perlahan untuk menemukan rumah baru keluarga Esfandiari.

"Tenanglah, man." Luke berusaha membuatku tidak terlalu tegang, namun dia sendiri tidak yakin apa yang akan kami temui nanti.

Terakhir kali, Mr. Esfandiari bersikeras bahwa aku tidak boleh menemui Shalimar. Aku ragu hari ini hasilnya akan berbeda, tetapi aku tidak keberatan mencoba. Setidaknya aku ingin bertemu sejenak, untuk sekedar meminta maaf secara langsung pada Shalimar atas tingkahku yang kurang ajar.

"Man," Luke menggeleng, memarkir mobilnya di seberang rumah yang kami tuju, "ini perkara ciuman paling ribet sepanjang sejarah. Kita harus mengemudi melintasi perbatasan negara bagian untuk mengejar gadis yang kabur setelah kaucium, ha?"

Aku cuma diam karena benar-benar tegang.

"Shalimar yang malang. Mungkin kau perlu lebih banyak latihan, serius deh. Terakhir kali kapan sih kau punya cewek? Maret? Alice, kan?"

Aku menarik napas panjang. "Pertama, jangan khawatir soal kemampuan menciumku karena segalanya hebat-hebat saja—"

"—Shalimar melarikan diri karena ciumanmu, Adam, kau tidak bisa menipuku bilang segalanya hebat!"

"—kedua, Shalimar tidak kabur dari ciumanku... malahan, apa sih, itu tidak bisa dibilang ciuman. Cuma bibir ketemu bibir!  Intinya adalah gadis itu memiliki standar moral berbeda," dahiku mengerut galak ketika melihat ekspresi Luke, yang mungkin mengaitkan kalimat 'standar moral berbeda' dengan Ali Esfandiari. "Ajaran mereka tidak memperbolehkan sembarang lelaki menyentuh wanita tanpa ikatan pernikahan dan—"

"—jadi sekarang karena kau sudah menciumnya, kau harus kawin dengannya?"

Putus asa, aku membenamkan wajah di telapak tanganku. Tentu saja aku tidak bisa menjelaskan secara detail ajaran Islam dan aturan mainnya pada Luke, karena aku tidak tahu banyak kecuali hal-hal dasar yang dijelaskan Shalimar. "Terserah. Aku hanya ingin meminta maaf dan mengetahui bagaimana kabarnya, penyakitnya, perkembangan penyelidikan tokonya... hanya itu."

Luke menatapku serius. "Intinya adalah, kau jatuh cinta kepadanya."

Mataku membelalak jengkel namun kurasakan pipiku memanas. "Hentikan membahas hal bodoh macam itu, Luke. Kami hanya teman dan—"

Tangan Luke terjulur dan ia memutar kepalaku ke arah rumah Shalimar. Mr. Esfandiari yang tambun dan berkumis melintang keluar dari dalam rumah menuju mobilnya yang terparkir di jalanan masuk. Kami refleks merosot di kursi masing-masing, ketakutan.

"Jadi, apa rencananya?" Luke menoleh padaku, berbisik-bisik kasar.

"Apa? Rencana apa? Aku tidak punya rencana!" Balasku ikut-ikutan berbisik. "Aku hanya perlu bicara pada Shalimar."

"Ya, tapi apakah kau akan turun sekarang dan minta izin pada ayahnya, atau kau akan menyergap Shalimar di rumahnya?"

Kepalaku berderit buntu. Sudah sejauh ini, namun aku tidak punya rencana. Perjalanan ini impulsif dan direncanakan cuma dua hari sebelumnya, didorong oleh antusiasme Luke. "Aku tidak—"

Kaca jendela mobil Luke diketuk dari luar. Jantungku melolong dan berhenti berdetak ketika kulihat Shalimar berdiri tepat di luar jendelaku, melongok ke dalam dengan dahi berkerut. Aku sedikit terkejut melihat betapa berbeda wajahnya, jauh lebih tirus dan layu dari saat terakhir kali kami bertemu.

Aku dan Luke duduk tegak. Tanpa basa-basi aku langsung melompat keluar untuk bicara pada gadis itu. Mobil Mr. Esfandiari sudah menghilang di ujung jalan.

"Hai. Kau hafal mobil Luke?" Aku mencoba berbasa-basi, namun hal itu jelas bukan pencair suasana yang baik. Tentu saja Shalimar hafal. Dulu kawan-kawanku suka melemparinya kaleng soda saat kami berkendara dengan mobil Luke.

Shalimar tidak menjawab. Aku menoleh minta pertolongan pada Luke di dalam mobil, yang langsung buang muka dan menyetel musik keras-keras. "Apa kabar?" Tanyaku lagi.

Setelah keheningan yang terasa seabad, Shalimar bicara dengan suara tajam. "Kau tahu bahwa aku membencimu atas apa yang kaulakukan?"

Bibirku hanya mengatup-ngatup tanpa suara.

"...dan aku merasa sangat bersalah sehingga aku menceritakannya pada ayahku—"

"—kau bilang pada ayahmu?" Mataku membelalak.

"Ya, lalu ayahku meledak dan bersumpah akan menggantungmu lewat dubur dengan kait besi untuk menggantung daging."

Perutku jungkir-balik. "Wow."

"Yeah, wow," Shalimar membuang muka. "Tetapi, setelah emosi kami reda, ayah bilang pernah melakukan hal yang sama pada ibuku."

"Maksudmu—"

"—yah, sudahlah. Tidak usah dibahas lagi. Tindakanmu dimaafkan, namun tidak akan ditolerir untuk yang selanjutnya. Sungguh, kau harus melihat ayahku mengeluarkan usus kambing agar kau percaya bahwa tukang daging punya cara-cara ampuh dan menyakitkan untuk menyiksa seseorang."

Aku tertawa lega, kepingin sekali memeluknya erat namun yang keluar malahan, "Fist bump?"

"Haha, oke."

Tinju kami bertemu.

"Err, jadi... apa aku harus menikahimu?"

Gadis itu tersenyum tipis. "Kau harus disunat dulu. Nah, sekarang coba bayangkan pisau daging."

Aku kadang-kadang ngeri dengan selera humornya.

Year of Shalimar [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang