April, April Mop

33 5 0
                                    


Shalimar Esfandiari berdiri di depan terasku dengan sekantong daging. Matanya menatap lurus pada keset di antara kami, sementara mataku sendiri terpaku pada kerudung yang membalut kepalanya. Warnanya biru sangat gelap. Jemariku mengusap mata yang masih mengantuk, kemudian mengulurkan tangan untuk menerima daging pesanan ibuku.

"Terima kasih," gumamku tak jelas.

Ia tidak menjawab, seperti biasa, karena aku mungkin bukanlah orang yang ingin diajaknya berinteraksi.

Gadis itu berbalik dan mulai menuruni undakan depan, sementara aku bergulat dengan suara-suara di dalam kepalaku sendiri. Satu bergerundel menyuruhku melemparkan diri kembali ke kasur, satu mengejek diriku sok pahlawan, satu lagi benar-benar meneriakiku untuk berhenti mencoba bicara pada Shalimar.

Namun, persetan.

"Hey," pada akhirnya aku berseru. Ia sedikit menolehkan kepalanya. Aku menunjuk pipiku sendiri. "Bagaimana wajahmu?"

Gadis itu memutar tubuh. Kini ia menghadapku sepenuhnya, sehingga aku dapat melihat bekas lebam yang sudah menguning di pipi kanannya. "Yeah, menurutmu?" ujarnya sambil mengangkat bahu dan bersiap untuk angkat kaki lagi.

Aku menatap punggungnya yang menjauh, bungkusan daging terasa berat dalam genggamanku. "Hey," seruku. "Dengar. Aku menyesal."

"Tidak perlu."

Bungkusan itu kuletakkan di atas undakan, kemudian aku berlari kecil menyusulnya ke tengah jalan setapak. "Sungguh, aku tidak menyangka Alice akan melakukan itu," kataku jujur. "Aku benar-benar tidak setuju dengan perbuatannya."

Mata Shalimar merayap naik, memandangku dengan muak. "Seharusnya aku mencari tempat yang lebih aman untuk mengembalikan bajumu. Harusnya aku lebih waspada, karena kalian punya mata di mana-mana," gadis itu bicara dengan nada suaranya yang tajam, tapi tanpa penyesalan. "Lagipula, mungkin aku tidak perlu mengatainya pelacur."

"Whoa," aku meringis mengingat keributan kecil itu, "yeah... tapi tetap saja. Dia tidak perlu melakukan itu."

Shalimar tidak kelihatan terkesan dengan usahaku menunjukkan simpati. Ia menatapku dingin tanpa menghentikan langkahnya. "Vaughn, sudahlah. Ibumu telah bersikap sangat baik pada keluargaku dan aku menghormatinya. Namun itu tidak berarti kau harus mencoba jadi baik pula."

Aku mengerutkan dahi. "Tidak—"

"—hentikan, oke? Aku benar-benar tidak menginginkan simpatimu," Shalimar menggeleng. "Besok di sekolah, tetaplah jadi orang brengsek yang sama. Aku tidak mau cari gara-gara."

Shalimar kian menjauh. Aku hanya mampu mematung sambil berdiri kedinginan di trotoar dalam kaus dan boxer, memandangnya hingga lenyap di ujung jalan.

Year of Shalimar [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang