Esok paginya, sesuai dengan kesepakatan yang sudah mereka buat, Fani mulai menyiapkan sarapan untuk Rei. Dirinya juga sudah membuat salinan untuk kesepakatan yang mereka buat kemarin malam lengkap dengan materainya dan langsung ditandatangani oleh keduanya. Kemudian, keduanya pun menyimpan salinan itu masing-masing.
Setidaknya ini hanya lima bulan, pikir Fani.
Walaupun ini memang waktu yang cukup lama, tapi dirinya berharap setelah lewat dari waktu yang ditentukan itu, rencana yang sudah disusunnya bersama dengan cowok itu akan berhasil. Dia hanya ingin kembali menjalani harinya dengan normal.
"Sarapan apa pagi ini?"
Suara inilah yang sangat tidak ingin didengarnya saat ini. "Nasi goreng," jawab Fani datar.
"Aduuhh... gue berasa kayak udah punya istri nih," ujar Rei menggoda Fani.
Mendengar itu, Fani menatap tajam cowok yang sudah duduk dengan santainya di kursi meja makan dan kemudian berujar, "Lo mau gue tonjok? Pagi-pagi udah bikin kesel aja."
Rei hanya terkekeh geli mendengar ucapan cewek itu. Pagi-pagi sudah menggoda Fani sepertinya akan menjadi rutinitasnya setiap hari. Melihat cewek itu menunjukkan raut wajah yang kesal membuat kesenangan tersendiri untuknya.
"Ngapain lo senyum-senyum gitu?"
"Siapa? Gue?" Rei balik bertanya.
"Ya iyalah elo. Masa kambing?" balas cewek itu kesal sambil bangkit berdiri mengambil tas kuliahnya.
"Kita berangkat bareng aja," tawar Rei pada Fani setelah selesai meminum susu dari gelasnya.
Tawaran itu langsung saja disambut tatapan tajam dari Fani. "Lo mau satu kampus curiga sama kita? Lagian berapa kali sih harus gue bilang sama lo, nggak usah sok baik. Akting lo nggak ngaruh apapun sama gue."
Rei menatap kepergian Fani dengan tatapan yang sulit diartikan. Egonya jelas tidak terima dengan setiap perkataan cewek itu yang menurutnya terkadang sering kelewatan. Tapi dirinya jelas tidak bisa menyalahkan cewek itu sepenuhnya.
Seharusnya dia juga yang harus bersikap biasa saja, tidak perlu bersikap baik seperti tadi. Tapi tadi itu murni niat baiknya, bukan pura-pura ataupun akting. Rei tersenyum miring dan kemudian menghela napasnya. Ya, dia tidak perlu bersikap baik seperti tadi. Karena apapun yang dilakukan olehnya, itu hanya akan menyakiti cewek itu nantinya.
Dari awal niat gue udah jahat, jadi gue juga seharusnya bersikap sebagai orang jahat.
***
Setelah ucapan Fani padanya beberapa hari yang lalu, Rei sama sekali tidak pernah lagi mengajak cewek itu untuk berangkat bersamanya. Dia memang masih sering menggoda Fani untuk membuat cewek itu kesal padanya, tapi hanya sebatas itu.
Dirinya tidak mau lagi menurunkan egonya untuk cewek itu. Seperti pagi ini, setelah memakan sarapan yang dibuatkan oleh Fani, Rei langsung berangkat ke kampus.
Sesampainya di kampus, Rei langsung disambut oleh Rega. Sahabatnya itu sudah duduk tenang di bangkunya sambil memegang ponselnya. Cowok itu langsung saja duduk di samping Rega.
"Kenapa gue nggak ngelihat ada perkembangan dari rencana lo ya?"
Rei yang mendengar pertanyaan sahabatnya itu langsung saja menghentikan kegiatan mengetik pesan pada ponselnya. Tadinya cowok itu baru saja akan memberikan kabar pada Dian -salah satu primadona junior di kampus mereka- yang baru saja didekatinya selama seminggu ini.
"Maksudnya apa nih?" Rei balas bertanya dengan kening yang berkerut.
"Nggak ada maksud apa-apa sih. Cuma heran aja, udah hampir satu bulan tapi nggak ada perkembangan apapun. Lo masih yakin sama rencana lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo, Tunangan Gue !!! [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Tersedia di toko buku terdekat. Beberapa part sudah dihapus] Fani membenci Reihan Nathaniel setengah mati. Cowok playboy yang selalu menjadi most wanted di kampusnya. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan cowok seperti Rei yang tidak bisa menghargai cew...