Pagi ini tetap dingin seperti biasanya tapi tak membuat Rikha gentar. Rikha terus duduk di teras kamarnya menunggu sang mentari terbit.Sejak pulang dari puncak kemarin membuatnya termenung, ia seakan bisa merasakan hadirnya Ata setelah sekian lama dan itu ia temukan di dalam diri Rakha.
Sebenarnya siapa Rakha itu? Kenapa ia mirip sekali dengan Ata? Yang Rikha tau Rakha pasti bukan saudaranya Ata. Tapi mengapa mereka nampak sama?
Lama-lama Rikha pusing memikirkan ini semua, lebih baik ia menjalani apa yang ada saja dahulu.
Rikha bergegas meninggalkan balkon menuju ke kamar mandi, ia akan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
"Ica? Sudah bangun nak?" tanya bunda di depan pintu kamar Rikha.
"Sudah bun." jawab Rikha sambil berjalan menuju ke pintu.
Setelah ia membuka pintu, ia tersenyum kepada bundanya. Hal ini membuat bunda tertegun. Sudah lama sekali bunda tidak melihat Rikha tersenyum tulus seperti itu.
"Ya sudah, ayo kita sarapan." ajak bunda dengan menggandeng Rikha untuk menuju ke meja makan.
"Kemaren pulang sama siapa Ca?" tanya bunda saat nereka telah dudk di meja makan.
"Temen." jawab Rikha tanpa minat.
"Kok ngga diajak mampir?" Bunda terus saja bertanya padanya.
"Dia sibuk bun," Rikha menjawabnya masih tanpa minat. "Ngapain sih bunda nanyain dia mulu?"
"Kan bunda pengen tahu ca, udah lama juga nggak ada temen kamu yang main kesini." Bunda menatapnya dengan sorot matanya yang sulit dijelaskan.
Menlihat itu Rikha jadi sedih. Ia tak suka melihat bundanya bersedih tapi kalau boleh jujur Rikha juga tak bisa terlihat baik-baik saja. Karna memang sebenarnya kini hatinya telah hancur. Jadi ia harus bagaimana?
"Nanti ya bun, kalau dia enggak sibuk lagi. Rikha pasti ajak dia kesini. Rikha pasti ajak temen Rikha main kesini," ujar Rikha berusaha menghibur Bundanya.
Bunda berjalan mendekatinya lalu mendekapnya erat. "Percaya sama bunda ca, kalau bunda enggak mau lihat kamu bersedih terus. Sudah cukup dua tahun ini kamu larut dalam kesedihan. Jalanmu masih panjang ca. Kejar mimpimu lagi ca, dengan atau tanpa adanya Ata," Bunda masih mendekapnya erat seakan menyalurkan seluruh kekuatannya. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Rikha pasti bisa melewati ini semua.
"Ica sayang Ata bun..." Rikha merengek pada bundanya.
"Bunda tau, sudah sekarang kamu berangkat sekolah dulu, nanti bisa terlambat." ucap Bunda sambil melepas pelukannya.
Rikha segera mengangguk lalu mengambil tasnya. "Bun Rikha berangkat dulu," ucapnya sambil menyalimi bunda.
"Hati-hati ya ca, kejar mimpimu!"
🌊🌊🌊
Dalam perjalanan ke sekolahnya, Rikha sibuk berpikir. Ia bingung dengan semuanya. Terutama dengan Rakha. Mengingat itu, Rikha jadi teringat kejadian kemarin. Ketika mereka sama-sama membuka masa lalu yang kelam tapi masih buram. Padahal mereka bahkan baru bertemu hanya dua atau tiga kali? Rikha lupa.
Tapi Rikha tak bisa membohongi hatinya yang seakan menemukan kembali puzzle yang lama hilang.
Sepertinya ia juga sudah menerima kepergian Ata. Walaupun terkadang ia masih sensitif apabila berkaitan dengan Ata. Mungkin ia nanti harus-.
Tiiiin.
Suara klakson mobil membuat lamunan Rikha buyar. Ia terhenti sejenak menatap mobil yang kini berhenti disampingnya.
Sang pemilik mobil membuka kaca mobilnya."Mau nebeng enggak?" tanya si empunya mobil yang membuat Rikha mengerutkan keningnya. Sepertinya ia kenal suara ini, batinnya.
Cowok yang berada di dalam mobil tersebut membuka kacamata yang bertengger manis di hidungnya menampilkan wajah tampannya.
"Ngapain lo bingung gitu? Atau lo baru sadar kalo gue ganteng?" Rakha, cowok yang berada di dalam mobil itu menaikkan sebelah alisnya.
Rikha memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia bergegas meninggalkan cowok itu.
"Udah lah lo nebeng gue aja, lagian kan kita udah jadi teman," suara Rakha membuatnya terdiam. Memang sejak kapan mereka jadi teman? Atau mungkin sejak saling bercerita masa kelam tempo hari itu.
"Gue gak mau punya teman!" desis Rikha dingin membuat Rakha menatapnya heran.
Setelah itu Rikha bergegas meninggalkan Rakha dan menaiki bus yang kebetulan berhenti di halte di depannya.
Rakha memandangi bus yang mulai menghilang di belokan. Ia masih bingung dengan kejadian barusan. Karena setiap ia bertemu dengan Rikha, selalu ada hal yang tidak terduga. Selalu ada kejutan jika bersama Rikha karena selama ini tidak ada cewek-dalam hidupnya yang menurutnnya sangat unik.
🌊🌊🌊
Teman katanya? Tidak...tidak. Ia takkan mau menjadi teman Rakha. Cukup ia mengetahuinya saja. Ia tak mau mempunnyai teman yang nanti pada akhirnya meninggalkannya. Bukankah ia pernah mengatakan?
Rikha memasuki kelasnya, detik itu matanya bertatapan dengan mata coklat Rakha. Rikha berusaha mengabaikan tatapan tajam dari Rakha dan duduk di bangkunya.
"Ngapain lo duduk di situ?" tanya Rakha sengit membuat Rikha mengerutkan keningnya.
"Ini bangku gue, jelaslah gue mau duduk di sini!!" ucap Rikha tak kalah sengit, ia masih malas berurusan dengan cowok ini.
"Katanya lo enggak mau punya temen? Trus ngapain masih mau duduk situ, Sono duduk di bangku kosong yang di pojokan!!" Rakha menunjuk bangku paling belakang dan di pojok, bisa di jamin kalau ia duduk di sana pasti tidak bisa fokus pada pelajaran karena posisinya begitu jauh dari papan tulis.
"Fine!! Gue bakal duduk di sana!" ucap Rikha tanpa mempedulikan resikonya karena ia sudah tak tahan dengan tatapan ingin tau dari teman sekelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time: Dream
Teen FictionI dedicate this story for you The one who never sees the truth.