THIRD

677 70 15
                                    

"Apa aku terlalu sibuk menghitung bintang hingga melupakan terangnya sang bulan."

Saat sesampai nya aku di rumah sakit, aku segera berlari memasuki ruang UGD. Dan disana kulihat Ayah dan Ibu yang sedang terduduk sambil terisak. Perlahan kudekati mereka. Apakah Feranica sangat parah kondisinya? Melihat kedatanganku ini, Ayah segera berdiri dari duduknya dan langsung menggenggam erat tanganku.

Tatapan Ayah yang sangat menyedihkan itu membuatku langsung memeluknya guna menenangkan dirinya yang mulai terisak kembali. Bagaimana ini bisa terjadi?

Aku melepaskan pelukanku dan beralih memeluk Ibu yang masih sangat menangis hebat. Hanya inilah yang bisa kulakukan untuk menenangkan kedua orang tuaku.

Aku tau perasaan mereka seperti apa. Feranica adalah anak yang sangat berarti untuk orangtua ku, jadi aku tahu betul bagaimana sakitnya mereka saat mengetahui anak kesayangannya terluka.

"Ibu tenang yah.. Fera pasti baik-baik saja kok."

Aku mengelus punggung Ibuku. Memberikannya sedikit ketenangan. Ibu sangat menyanyangi Fera. Bahkan ia rela tidak tertidur dimalam hari hanya karena menunggu Fera yang belum pulang karena sesi pemotretannya.

Terkadang aku sangat ingin mencekik Fera saat dirinya melakukan hal-hal yang membuat Ayah dan ibu kwatir.

"Evelyn.. bagaimana kalo Fera tidak selamat hiks.."

"Ibu jangan bilang begitu, kita berdoa bersama,"

Aku semakin mengeratkan pelukanku kepada Ibu. Ayah pun ikut bergabung menenangkan Ibu yang semakin menjadi-jadi tangisannya.

Tuhan, kumohon selamatkanlah kakakku. Doa ku di dalam hati.

Tak lama kemudian seorang perawat keluar dari ruangan yang ada Fera didalamnya. Ayah dan ibu segera berlari menuju perawat tersebut. Bahkan ibu dengan sangat gesitnya melepaskan pelukanku.

Dan aku, aku hanya masih terdiam dibangku panjang ini. Sesaat kemudian dokter pun keluar dengan peluh disekitar wajahnya.

Kulihat dokter tersebut sedang berbicara dengan Ayah. Lalu Ibu diperbolehkan memasuki ruangan tempat Fera terbaring. Sedangkan aku masih betah duduk disini. Tapi bukan berarti aku tidak melakukan apa-apa. Tentu saja aku sedang berdoa.

Entahlah, aku bingung harus berekspresi seperti apa disaat seperti ini. Jika aku ikut menangis lalu siapa yang akan menenangkanku.

Aku hanya bisa terdiam dengan ekspresi datar, tapi bukan berarti aku tidak mengkwatirkan kondisi Fera. Aku jauh sangat bersedih dibandingkan Ayah dan Ibu.

Aku terkejut saat di depanku sudah ada Ayah dan juga dokter tadi. Dokter tersebut tersenyum kepadaku dan mau tak mau aku juga membalas senyumannya tersebut.

"Evelyn Ayah mohon bantuannya," ujar Ayahku.

"Bantuan apa, Ayah?"

"Tolong berikan sumsum tulang belakangmu untuk Fera, Ayah mohon.." ucap Ayah dengan suara seraknya.

Aku terpaku pada kalimat ayah barusan. Mataku mulai berkaca-kaca. Apa kondisi Fera separah itu? Apa aku harus menyelamatkannya? Lalu ketika dia pulih apa aku akan tetap dikucilkan dikeluarga ini?

Aku masih terdiam tak menjawab perkataan Ayah hingga dokter tersebut mulai ikut duduk disampingku.

"Aku tau ini sulit untukmu, nona. Tapi ini demi kakakmu. Dan kami tidak akan membahayakan kondisi seorang relawan hanya untuk menyelamatkan seorang pasien. Jadi, percayalah.."

Ucapan dokter tersebut cukup menenangkanku. Dan aku pun mengangguk menyutujui rencana mereka.

Lalu tiba-tiba Ibu datang menghampiriku. Dan aku berdiri untuk memeluk Ibu. Dengan seperti ini, akankah kasih sayang Ibu bertambah padaku jika aku menyelamatkan nyawa Fera?

98 kgTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang