If I Were You

552 57 5
                                    

Ingin kubuka mataku dari kegelapan yang menjerat. Lepas dan bebas melihat dunia luar. Tapi rasanya berat, sungguh berat.

Ingin kugapai wajah di sampingku. Menghapus air matanya, dan menepuk bahunya untuk berusaha menenangkannya. Tapi tanganku susah. Susah untuk digerakkan. Seolah semuanya kaku. Seolah aku ini tak bertulang.

Laki-laki di pojok itu.. ingin pula aku memeluknya. Ingin aku berterima kasih kepadanya. Karena sebagian cairan yang mengalir dalam kapilerku adalah darahnya. Karena dia telah menyumbangkan salah satu bagian berharga dari tubuhnya. Tapi.. laki-laki itu sedari tadi hanya menunduk. Rupanya dia sedang berduka. Berduka karena apa? ja.. jangan-jangan karena aku? karena aku telah secara tak sengaja mengambil darahnya? andai, andai bila mulutku ini bisa berbicara dan menumpahkan segala belenggu hatiku. Pasti ucapan minta maaf telah kulontarkan sejak tadi. Tapi.. aku pasrah. Mulutku tak bisa bergerak seolah ratu es telah membekukan diriku untuk selamanya.

Sudah lima hari setelah operasi pasca kejadian itu, aku sama sekali belum sadar. Mataku terus terpejam, dan tak ada tanda-tanda tubuhku akan bergerak karena sadar. Tapi denyut jantungku sudah normal. Di samping kananku ada mama dan papa yang terus bersabar menunggu aku bangun. Kadang kalau sendiri, mama sering menangis melihat keadaanku saat ini. Tak berdaya, dengan bekas jahitan di kepala.

Ya, karena saat kejadian kemarin kepalaku terantuk pembatas jalan, akibatnya bagian utama tubuhku ini bocor. Sedih sekali rasanya. Ingin aku menjatuhkan air mata karena membayangkannya. Tapi rasanya tak bisa.

Setiap jam menunjukkan pukul 16.00, ada seseorang yang selalu datang ke kamarku. Kadang ia membawa bunga, buah, atau menyanyikan lagu yang ia karang khusus untuk diriku.

Entah mengapa, mama dan papa juga sangat senang ketika dia datang. Mereka selalu menyambut setiap dia datang dengan sambutan hangat dan selalu menyuruhnya duduk di sebelah kiriku.

Sekarang, aku sedang menunggunya untuk kembali datang. Aku tahu, hampir semua indraku sedang tak berfungsi saat itu. Tapi.. entahlah, aku memang aneh. Jujur saja, selama ini aku dapat merasakan keadaan sekitarku. Coba kau menangis di sebelahku, pasti aku dapat merasakan kesedihanmu pula. Coba kau tersenyum di sebelahku dan menyapaku, pasti aku dapat merasakan kebahagianmu pula.

"Permisi.."

Ah, akhirnya orang itu datang. Orang yang kutunggu akhirnya datang. Tapi.. ada yang aneh, kemana mama dan papa?

Orang itu sama seperti kemarin-kemarin. Selalu duduk di sebelah kiriku. Kali ini.. apa yang akan dia bawa? bunga, buah, atau lagu lagi? yang jelas, aku tak pernah merasa bosan dengannya. Dia mengasyikkan, sih.

"Hai, Kiara.. aku datang lagi. Aku adalah orang yang kemarin dan yang akan selalu ada di sebelah kirimu sampai kau sembuh. Aku kali ini tidak membawa apa-apa karena hanya ingin berbicara denganmu saja. Tidak apa kan?"

Tak ada jawaban. Suasana hening sejenak, bahkan deru AC di kamar pun terdengar.

"Kiara.. boleh aku jujur? kuharap dengan ini, kau tidak akan marah.. "

Terdengar suara orang tersebut menarik dan menghembuskan nafasnya.

"Kiara.. kau adalah gadis paling manis yang pernah aku temui. Tapi kau juga merupakan gadis yang pertama kalinya membuatku menjatuhkan air mata. Awal masuk ke kelas, kau adalah murid baru dan langsung jatuh sakit sehabis pelajaran olahraga. Padahal aku yakin, hari itu kau baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda akan sakit atau bagaimana. Kau itu gadis yang ceria sebenarnya. Yang kadang dapat membuatku agak tak tahan dengan celotehanmu bersama teman-temanmu. Tapi justru, di situlah poinnya. Tanpa kehadiranmu, di sebelahku terasa seperti dulu lagi. Kosong, dan tak ada yang menduduki. Sekarang, cobaan datang lagi. Ma'afkan aku yang waktu itu hanya dapat berteriak memanggil namamu saat kau telah tertabrak. Ma'afkan aku yang seharusnya menjagamu dari jauh agar kau tidak tertab.. rak.. maafkan aku.. ma.. af.. hanya beberapa tetes darah.. hanya itu.. yang bisa kuberi.."

Air mata menetes dan jatuh di pipinya. Penyesalannya sungguh besar seakan seluruh dunia menuduh kalau kesalahan bertumpu padanya. Seandainya ada yang mengatakan kalau dia cengeng, maka ungkapan itu sungguh tidak benar. Air mata yang jatuh di pipinya adalah air mata pertama dari seorang laki-laki yang aku rasakan benar-benar sebuah tanda penyesalan yang mendalam. Setiap titik yang jatuh adalah bukan suatu hal yang patut dijadikan bahan ejekan. Karena segala sesuatu yang berasal dari hati, memang tak selalu bisa untuk dinilai dengan hanya melalui kata-kata. Sebab, perasaanlah yang lebih mengetahui apa yang ada dalam sana.

"Kiara.. andai aku menjadi dirimu, pasti seluruh beban ini adalah aku yang akan menanggungnya kan? aku yang akan merasakannya kan?"

Kai, dialah yang ada di sisiku saat ini. Dialah orang yang seolah berusaha mendatangkan matahari setelah mendung datang. Dialah orang yang selalu ingin menghapus duka dan menggantinya dengan keceriaan.

"Sungguh, aku sangat sedih melihat kau seperti ini. Kenapa tidak aku saja yang terluka? kenapa tidak aku saja yang sakit? aku lelah, aku lelah melihat kau menderita!"

Kalau jari jemariku diizinkan bergerak satu menit saja, pasti kan kuusap air mata laki-laki itu.

Kalau mulutku diizinkan berkata-kata sekarang, pasti akan kuyakinkan dia bahwa aku baik-baik saja.

Tapi itu semua hanya angan belaka. Tak mungkin terjadi jika tanpa sebuah keajaiban.

Tiba-tiba tangan Kai memegang tanganku. Kurasakan pula jari-jemarinya mengelus pelan kulitku.

"Kiara, cepatlah sembuh. Aku yakin kamu adalah gadis kuat yang tahan segala cobaan. Berbahagialah, besok teman-teman akan datang kemari. Ma'af ya, sepertinya aku tak bisa lama di sini karena ibuku juga sedang sakit. "

Kemudian, Kai beranjak dari kursinya dan membuka kacamatanya untuk mengelap sisa air matanya dengan tisu.

"Nah, sekarang, aku pergi dulu ya. Sampai jumpa besok!" lanjutnya.

Terdengar langkah kaki Kai yang semakin menjauh. Ketika pintu kamar telah tertutup pelan, aku yakin, Kai telah pergi.

Keheningan kembali menyelimuti kamar 7x8 meter itu. Suara rintik air yang menetes di luar ruangan terdengar keras. Ah, berarti sedari tadi memang hujan, tapi aku tak merasakannya. Tiba-tiba, saat itu ada suatu kekuatan yang menyusup ke dalam tubuhku. Menyebabkan kedua tanganku bergetar pelan, dan mataku perlahan-lahan terbuka.

Comes To Leave (TFBOYS FANFIC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang