PROLOG

1.3K 59 2
                                    

JENDELA kelas dua belas yang berada di lantai dua terbuka lebar. Ini merupakan ruang kelas yang dipenuhi kenangan. Nama dan foto para mantan penghuninya masih terpampang di dinding. Gumpalan tawa dan air mata bergulung jadi satu. Gerbang sekolah terlihat jelas dari sini. Andai saja waktu bisa dihentikan sehingga tidak seorang pun yang akan pergi meninggalkan sekolah ini.

Seorang gadis berdiri di tepi jendela. Kedua sikunya bertumpu pada kosen dan menopang dagunya. Ia mengenakan kebaya berwarna jingga. Tampak senada dengan langit senja di luar sana. Rambutnya disanggul rapi, hasil duduk di salon tadi pagi. Wajahnya disapu riasan sederhana. Semua itu demi upacara kelulusan yang baru saja selesai dihadirinya.

Air mata mulai merebak di mata gadis itu. Tidak terasa waktu bergulir secepat ini. Siapa yang menyangka bahwa setelah ini ia akan menyandang status mahasiswa. Dan itu berarti ia harus bersikap lebih dewasa dari saat ini. Menyadari hal itu, ia menghapus air matanya yang mengalir dan membiarkan sisanya tertahan di tenggorokan seperti duri yang tersangkut.

'Jihan!'

Seseorang menyerukan nama gadis itu hingga ia menoleh. Ia mendapati seorang lelaki dengan setelan jas hitam berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya dilipat ke balik punggungnya. Seolah menyembunyikan sesuatu. Ada sesuatu yang berbeda dari penampilan lelaki itu. Jihan memerhatikan dengan saksama. Mungkinkah...?

'Hei, ke mana perginya kameramu?' tanya Jihan heran. Biasanya kamera milik lelaki itu selalu terkalung setia di lehernya.

'Aku menitipkannya pada orang tuaku,' jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Perlahan lelaki itu berjalan lalu berdiri di hadapan Jihan. Kemudian ia mengulurkan tangannya dari balik punggung, menyodorkan sebuket bunga kepada gadis yang tengadah menatap kepadanya.

'Jihan, selamat atas kelulusanmu... kelulusan kita.'

Jihan menerima buket bunga itu lalu membenamkan puncak hidungnya ke dalamnya. Sejenak, ia menghirup wangi segar bunga-bunga itu. Seulas senyum mewarnai bibirnya yang merah seperti selai stroberi.

'Terima kasih, Rangga.' Jihan menelengkan kepalanya ke satu sisi. Alisnya berkerut rikuh. 'Tapi, maafkan aku. Aku tidak menyiapkan hadiah apa pun untukmu.'

Rangga hanya tersenyum. Lelaki itu sedikit membungkukkan tubuh jangkungnya lalu mencubit ujung hidung Jihan. 'Tidak apa-apa, Jihan. Sekarang yang paling penting adalah mempersiapkan itu.'

Jihan menganggukkan kepalanya mantap. Rangga memang sahabat terbaiknya. Banyak kenangan yang sudah mereka ukir bersama selama ini. Mulai dari lomba makan di kantin sekolah, bersaing mendapat nilai fisika terbaik, hingga membolos sekolah bersama.

Dan apa yang akan mereka lakukan setelah ini mungkin akan menjadi kenakalan mereka yang terakhir di sekolah ini. Mereka sudah tidak perlu takut dipanggil ke ruang kepala sekolah lagi. Tidak ada yang bisa menghukum mereka. Mereka bukan lagi siswa sekolah ini. Mulai hari ini mereka bebas.

Tetapi Jihan berharap, kebersamaan mereka akan abadi selamanya.

Samar-samar mulai terdengar suara gaduh dari bagian dalam gedung sekolah. Tidak lama kemudian, para guru, orang tua, dan siswa mulai terlihat memenuhi halaman sekolah. Mereka semua sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Acara jamuan makan sudah selesai rupanya.

'Kau siap?' tanya Rangga sambil memberi aba-aba.

Begitu Jihan menganggukkan kepala, secara bersamaan mereka menumpahkan isi kantung besar dalam genggaman masing-masing. Potongan-potongan kecil kertas warna-warni melayang-layang di udara. Kertas-kertas itu menghiasi langit senja dan menghujani orang-orang yang ada di halaman sekolah.

Orange Sunset ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang