SEMBILAN (1/2)

288 27 0
                                    

PAGI ini Silvia sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisi tubuhnya sudah membaik dan dokter memastikan ia akan baik-baik saja asalkan tidak lagi melakukan diet ketat yang menyiksa. Ia diharuskan mematuhi saran dokter untuk mengonsumsi makanan sehat demi mengembalikan asupan nutrisi tubuhnya.

Saat ini Silvia sedang duduk di tepi tempat tidur, sudah selesai bersiap dengan pipi yang merona merah muda. Ia menunggu Rangga datang menjemputnya. Tadi seorang perawat mengabarkan bahwa Rangga berpamitan pulang sebentar untuk mengambil mobil dan akan kembali menjemput Silvia.

Ternyata rumah sakit tidak terlalu menyeramkan seperti yang dibayangkannya selama ini. Bahkan Silvia cukup menikmati sesi rawat inap pertama kali dalam hidupnya. Ia memiliki waktu yang panjang untuk bisa terus berada di sisi Rangga.

Sebuah ketukan di pintu membuat Silvia menoleh dengan mata penuh harap. Itu pasti Rangga. Sayangnya, dugaannya meleset. Ternyata Jihan yang datang. Gadis itu tersenyum lalu melangkah dan duduk di kursi di samping tempat tidur. Kursi yang diduduki Rangga selama semalam penuh menemani Silvia.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tidak pernah lebih baik dari ini," jawab Silvia dengan wajah berbinar bahagia. Tetapi sedetik kemudian ia sudah mengerucutkan bibirnya protes. "Tapi kenapa kemarin malam kau tidak datang kemari?"

"Hem ... aku datang tapi kau sedang tidur. Jadi, aku pulang lagi." Jihan menggidikkan bahunya.

"Oh ... mungkin kau datang beberapa saat setelah aku minum obat." Silvia coba mengingat-ingat. "Aku hanya bertemu Julian kemarin."

"Ah, ya. Mungkin saja. Aku juga sempat bertemu dengan Julian kemarin malam ...."

Mata Silvia langsung membulat lebar, mengharapkan cerita lebih.

Selama beberapa detik Jihan menyadari bahwa ia salah berbicara. Tetapi ini bukan saatnya mundur. Jadi ia melanjutkan untuk mengisi harapan Silvia yang terlanjur dibukanya. "Dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang."

Silvia menatap Jihan sambil memicingkan mata. "Jangan bilang kau menolak."

"Aku menyetujuinya."

Mendengar jawaban itu, wajah Silvia langsung dihiasi senyum lebar penuh kegembiraan. Sementara di dalam hatinya, Jihan diam-diam bersyukur jika memang jawaban itu bisa membuat Silvia senang. Karena ia sendiri sudah tidak tahu harus bagaimana untuk menebus kesalahannya pada sahabatnya itu.

"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"

"Hem ... kami makan malam bersama."

Senyuman Silvia semakin tegas hingga bulatan pipinya merona merah. Ini benar-benar perkembangan yang diharapkan Silvia. Pilihannya memang tepat untuk saling mengenalkan mereka berdua.

"Dasar pengkhianat! Kau pergi kencan saat sahabatmu sedang terbaring di rumah sakit," sahut Silvia dengan nada jenaka kemudian terkekeh bahagia.

Pengkhianat? Tanpa sadar Jihan mengernyit pahit. Ia tahu Silvia sedang bergurau. Hanya saja atas apa yang ia sembunyikan dari Silvia, kata-kata itu terasa seperti pecahan es menusuk tepat di jantungnya. Benarkah ia sudah berkhianat dengan tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Silvia?

"Hei, tenang saja ...." Mendadak Silvia menghentikan tawanya ketika melihat perubahan ekspresi Jihan. Ia mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas kedua bahu Jihan. "Aku tidak marah karena kau pergi makan malam dengan Julian. Aku justru merasa senang."

Jihan melihat kedua mata Silvia yang memancarkan ketulusan. Seharusnya ia tidak boleh menyakiti gadis sebaik ini. Secepatnya, ia harus melupakan Rangga dan semua kenangan tentang lelaki itu di belakang. Tanpa mengingatnya sedikit pun.

Orange Sunset ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang