DUA (1/2)

465 38 2
                                    

DAHULU, Jihan dan Rangga sering menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di kafe yang terletak tidak jauh dari sekolah. Mereka bisa melakukan itu kapan saja. Di akhir pekan maupun sepulang sekolah tidak pernah jadi masalah. Selalu banyak waktu menyenangkan yang mereka bagi bersama.

'Kau mau pesan apa?' tanya Jihan sambil menatap lekat-lekat lembaran menu bertuliskan daftar minuman yang ada di kafe itu. Ia tetap saja bertanya walaupun pesanan Rangga selalu sama. Bahkan para pramusaji di kafe itu hafal dengan minuman favorit lelaki itu.

Mereka memang selalu hanya memesan minuman dan betah berlama-lama mengobrol di kafe itu. Keadaan finansial mereka sebagai siswa tidak cukup mendukung untuk memesan makanan. Jadi, lebih baik mereka menahan perut yang bergemuruh sampai nanti tiba jam makan malam di rumah masing-masing.

Berbeda dengan Jihan yang lebih suka mencoba berbagai jenis kopi, Rangga lebih memilih untuk setia pada satu minuman yang sama: orange juice. Jihan tidak habis pikir mengapa sahabat terdekatnya kala itu sangat menyukai minuman berwarna oranye itu. Gelas tinggi, sedotan bening, dan potongan jeruk berbentuk lingkaran yang disematkan pada bibir gelas itu tampak... terlalu manis. Tidak sesuai dengan penampilan Rangga yang selalu terlihat gagah. Begitu pikir Jihan.

'Kenapa kau selalu memesan minuman itu? Seperti tidak ada minuman lain saja,' ujar Jihan lantas menyesap kopi panas dari cangkir di hadapannya.

'Kau sendiri selalu memesan minuman pahit seperti itu,' timpal Rangga sambil menunjuk dengan dagunya. Tidak terima pada komentar Jihan atas minuman favoritnya.

'Kopi tidak sepahit yang kaubayangkan. Minuman ini manis jika tahu cara menikmatinya.' Jihan mencibir. Tidak rela kalah. 'Kau sendiri tampak tidak pernah bosan pada minuman oranye itu.'

'Warna minuman ini selalu mengingatkanku pada langit senja,' jawab Rangga. 'Kau tahu kenapa?'

Jihan menggelengkan kepalanya.

'Karena bagiku, senja adalah wujud dari perasaan rindu,' lanjut Rangga tanpa penjelasan berarti. Membiarkan Jihan yang termangu dengan benak dipenuhi tanda tanya. Ia ingin bertanya tetapi ia tidak tahu harus bertanya apa. Otaknya kelewat tidak mengerti hingga tidak ada pertanyaan khusus yang muncul.

'Memang ada hubungan apa antara senja dan rindu?' tanya Jihan akhirnya. Ia sengaja memilih pertanyaan paling klise agar ia tidak terlalu terlihat bodoh.

Tetapi Rangga tidak menjawab. Ia hanya tersenyum penuh misteri. Bahkan setelah pernyataan cintanya kala senja lima tahun yang lalu, pertanyaan itu tidak pernah terjawab.

***

"Jadi, kalian sudah saling mengenal?" tanya Silvia takjub saat ia sudah kembali duduk di hadapan Jihan. Hanya saja kali ini ada Rangga di sampingnya.

Jihan terdiam salah tingkah. Sesaat ia mengalami disorientasi antara masa lalu dan masa sekarang. Hanya matanya yang sibuk memandang bergantian ke arah Silvia dan Rangga. Siapa yang menyangka lelaki yang paling ingin ditemuinya kini hadir tepat di hadapannya? Walaupun dengan status sebagai kekasih dari sahabatnya sendiri.

"Kami bersekolah di SMA yang sama."

Jihan menghela napas lega saat mendengar Rangga bersuara menjawab pertanyaan Silvia. Ia masih terlalu terkejut. Hingga banyak kalimat merenggang nyawa di ujung lidahnya.

"Benarkah?" Mata Silvia melebar. Wajahnya merekah karena senyuman. "Apa kalian akrab?"

"Lumayan."

"Tidak juga."

Jawaban berbeda yang terlontar dari Jihan dan Rangga membuat Silvia mengernyit bingung. Bagaimana mungkin Rangga menjawab 'lumayan' sementara Jihan mengatakan 'tidak juga'. Seperti apa hubungan mereka sebenarnya?

Orange Sunset ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang