SEPULUH (1/2)

304 25 0
                                    

CAHAYA matahari senja perlahan memudar, berganti dengan langit malam yang bertaburan bintang-bintang. Bulan mulai menghinggapi malam dengan kilaunya yang serupa mutiara. Suara jangkrik yang merdu terdengar bersahutan dengan bisingnya kendaraan dari kejauhan.

Masih mengenakan seragam putih-kelabu mereka, Jihan dan Rangga duduk berdampingan di kursi teras rumah Jihan. Biasanya, mereka akan menikmati senja sambil duduk di kafe kesukaan mereka, membicarakan banyak hal seperti materi ujian pekan depan mau pun sekadar gosip terkini di sekolah. Tetapi hari ini mereka memilih untuk menghemat uang demi bisa membeli tiket film kesukaan mereka berdua.

Tiba-tiba saja Jihan menghela napas berat. 'Kenapa, ya, orang-orang berciuman?' tanyanya, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri. Tetapi tanpa dinyanya, kata-katanya berhasil merebut perhatian Rangga dari konsol permainan portable yang digenggam lelaki itu.

Rangga mem-pause permainannya, mengangkat wajah, dan mengernyit menatap Jihan. Ia ingin mencoba menjawab pertanyaan tidak biasa yang dilontarkan gadis itu. Hanya saja ia sendiri merasa ragu dengan jawabannya. Jadi, ia menjawab dengan hati-hati, 'hem ... mungkin karena mereka saling mencintai ...?'

Mata Jihan membulat antusias. Ia menggerakkan kursinya sedikit menghadap Rangga. 'Itu berarti ... aku hanya boleh berciuman dengan seseorang yang kucintai?'

''Tentu saja," sahut Rangga sedikit terdengar kesal. Raut wajahnya seolah mengatakan bahwa semua orang tahu hal itu. 'Kau tidak boleh berciuman dengan sembarang orang. Hanya boleh dengan seseorang yang benar-benar istimewa. Misalnya, suamimu nanti.'

Jihan menganggut-anggutkan kepalanya. Ia terdiam, mencoba memahami dengan baik kata-kata Rangga. Sementara lelaki itu kembali menyibukkan diri dengan permainannya.

'Kira-kira ... di antara kita berdua, siapa yang akan lebih dulu menikah, ya?' Jihan kembali bergumam. 'Dan mengalami bagaimana itu berciuman ....'

'Entahlah.' Rangga menggidikkan bahu tanpa kembali melepas permainannya. Saat itu perasaan mereka masih murni sebagai sahabat, tanpa perasaan jatuh cinta yang rumit. 'Yang penting, kita harus menjaganya untuk seseorang yang mencintai dan kita cintai.'

Jihan membiarkan dagu dan hidungnya berkerut. Diam-diam, ia menanamkan kalimat itu baik-baik dalam benaknya. Ia harus menjaga ciumannya hanya untuk seseorang yang mencintai dan dicintainya.

***

Bibir Rangga terasa lembut menempel di bibir Jihan. Lelaki itu tampak begitu hati-hati dan berusaha untuk memperlakukan Jihan selembut mungkin. Hingga tidak ada kesempatan bagi Jihan untuk menolak.

Tidak ada yang bisa dipikirkan Jihan. Ia merasa otaknya sudah tercerabut paksa dari dalam rongga kepalanya. Tubuhnya terasa begitu lemas seperti tidak bertulang. Jadi, ia memilih untuk memejamkan matanya perlahan, merasakan euforia yang berdentam-dentam di rongga dada kirinya.

Tetapi begitu matanya terpejam sempurna, wajah Silvia yang sedang tersenyum tulus muncul di balik kelopak matanya.

Dan seketika itu juga, Jihan menyentak dirinya dan mendorong tubuh Rangga. Ia beringsut hingga ujung sofa terjauh dari Rangga. "Aku tidak bisa, Rangga."

"Kenapa?" Wajah lelaki itu berkerut masam. "Apa karena Silvia?"

Jihan terdiam. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Gadis itu hanya tertunduk mendekap kedua tangannya. Sekujur jemarinya terasa menegang dan gemetar.

"Jihan ...." Rangga mencoba mendekat. Tetapi ia mengurungkan niatnya begitu melihat sikap defensif yang ditunjukkan Jihan. "Maaf karena aku melakukannya."

Jihan mengigit bibirnya, berusaha menahan air matanya yang mendesak di pelupuk mata. Tidak ada satu kata pun yang mampu diucapkan bibirnya yang kelu. Pipinya memerah sementara jantungnya berdebar kencang karena perasaannya yang campur aduk. Malu, bingung, dan menyesal saling bertumpuk di dalam hatinya.

Orange Sunset ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang