SATU (1/2)

351 26 0
                                    

MEJA kerja itu tampak lengang dari berbagai macam kegiatan. Beberapa map dan kertas sudah tersusun rapi dalam file holder di sudut meja. Pensil dan pulpen juga sudah kembali ke tabung yang menjadi rumah mereka. Seorang gadis tengah duduk bertopang dagu dengan siku yang bertumpu di atas meja. Seolah tidak peduli pada cahaya temaram yang melingkupi ruangan itu. Memang sudah tidak ada kegiatan apa pun di ruangan itu sejak jam kantor berakhir sekitar satu jam yang lalu.

Kening Jihan berkerut. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang membingkai pemandangan langit sore ini. Warna biru perlahan dijajah oleh warna jingga kemerahan di ufuk barat. Ia menggigit bibirnya untuk menghalau sebersit kenangan yang mencoba memasuki benaknya. Hingga tanpa sadar ia menghela napas berat.

"Tiga kali."

Jihan tersentak. Ia mengangkat wajahnya lalu menoleh. Silvia yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya itu tampak mengurai senyum. Gadis itu adalah salah seorang rekan kerja Jihan yang cukup dekat dengannya. Sehari-hari, Silvia selalu tampak cantik dengan rambut hitam yang digelung rapi. Sepasang matanya yang sayu semakin menawan dengan riasan yang sesuai. Setitik tahi lalat tampak bertengger di sudut mata kirinya. Hidung mancung dan bibir penuh berwarna merah mudanya akan membuat siapa pun betah untuk memandanginya.

"Apa maksudmu, Silvia?" tanya Jihan sambil memperdalam kerutan di keningnya. Bingung.

"Dalam satu menit terakhir kau sudah menghela napas berat sebanyak tiga kali," jawab Silvia lantas melemparkan tatapan menyelidik. "Apa lagi yang kaupikirkan? Lelaki-senja-mu itu?"

Jihan menghela napasnya sekali lagi. "Tidak seperti yang kau pikir, Silvia." Ia menunduk lemas lalu menempelkan pipi kanannya pada meja kerjanya. Untuk yang kelima kalinya, ia menghela napas berat.

Silvia memang sudah pernah mendengar cerita cinta pertama Jihan itu. Dan setiap kali ia melihat Jihan melamun, bisa dipastikan gadis itu sedang tenggelam dalam momen masa lalunya.

"Jangan bohong. Aku sudah mengenalmu dengan baik, Jihan," ucap Silvia sambil memicingkan mata. "Kau tampak murung di hari Jumat yang dinanti semua orang. Itu berarti kau sedang teringat pada kisah romantis antara kau dan... siapa namanya?" Ia baru menyadari bahwa selama ini Jihan belum pernah menyebutkan nama lelaki itu.

Jihan terkekeh perlahan. "Ra-ha-sia," jawabnya kemudian dengan nada jenaka.

Kening Silvia mengernyit protes. "Kenapa?"

Sebenarnya, bukan masalah besar bagi Jihan untuk memberi tahu Silvia nama lelaki itu. Hanya saja... ia tidak ingin menyebut nama itu melalui bibirnya. Tidak saat ini. Saat cahaya senja menerpa samar di jendela. Melukiskan siluet punggung lelaki yang terus menjauh walaupun ia terus meneriakkan namanya. Lelaki yang dicintainya dan ternyata mencintainya. Tetapi mereka tidak bisa bersatu karena kebodohan yang dilakukannya.

Ya. Ia memang bodoh.

"Kau hebat, Jihan." Kali ini Silvia yang menghela napasnya pelan. "Kau bisa tetap memikirkan lelaki yang sama walaupun lima tahun sudah berlalu."

"Aku tidak memikirkannya," sanggah Jihan.

Silvia mencibir. "Matamu terus menerawang ke arah matahari senja seolah teringat pada hari di mana lelaki itu menyatakan perasaannya padamu."

Jihan menundukkan kepala. Matanya memperhatikan tepian meja kerjanya. Entah mengapa sudut-sudut meja kerjanya menjadi sesuatu yang menarik untuk diperhatikan saat ini.

"Saat itu adalah pertama kalinya ada seorang lelaki yang menyatakan perasaannya padaku. Aku terlalu panik hingga mengucapkan hal yang menyakitkan," sahut Jihan lemas.

"Itu bukan sepenuhnya salahmu." Silvia menelengkan kepalanya. "Lagi pula selama ini... apa kau tidak pernah mencoba untuk menghubunginya? Memulai semuanya dari awal... lalu menyatakan perasaanmu?"

Jihan mengangkat bahu lalu menggeleng perlahan. "Sejak saat itu, hubungan kami renggang... seolah tidak pernah mengenal sebelumnya. Lagi pula bagaimana kalau ternyata dia sudah punya pacar?"

Jihan sangat ingin bisa bertemu kembali dengan lelaki itu. Tetapi selalu ada kekhawatiran yang membayangi keinginannya itu. Ia bisa membayangkan suasana canggung yang akan mendominasi pertemuan mereka. Jika itu sampai terjadi, apa yang harus dilakukannya?

"Tidak ada salahnya mencoba," ucap Silvia. "Dan jika dia sudah punya pacar seperti yang kau khawatirkan, aku akan selalu ada untuk mendengar ceritamu."

Kepala Jihan mendongak antusias. Matanya berbinar penuh semangat. Ia merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Silvia. Mungkin tidak ada salahnya mencoba menghubungi lelaki itu sekali lagi. Siapa tahu mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal.

"Terima kasih, Silvia. Aku akan berjuang." Jihan berkata tegas. Lebih seperti menyemangati dirinya sendiri. Ia meraih tas tangan dari atas meja dan bangkit dari duduknya. "Ayo kita pulang sekarang."

Silvia ikut tersenyum senang. "Aku harap semangatmu tidak akan membuatmu lupa pada janji kita besok."

***

Orange Sunset ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang