EMPAT BELAS (2/2)

513 34 1
                                    

Jihan memandang hampa ke bilik kerja di sampingnya. Kursi itu masih saja kosong ditinggalkan penghuninya. Komputer yang ada di atas meja bahkan tampak kesepian. Ia menghela napas berat saat menyadari bahwa Silvia tidak datang lagi hari ini. Dan itu berarti hubungan mereka memang tidak bisa kembali seperti sedia kala.

Dan semua itu karena kesalahannya.

Perhatian Jihan kembali ke layar komputer di hadapannya. Ia harus kembali fokus bekerja. Setelah kehilangan sahabat dan lelaki yang dicintainya, tentu saja ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya juga.

Sangat sulit rasanya mengerjakan sesuatu dengan pikirannya yang kusut. Ingin rasanya ia mengunjungi rumah Silvia. Tetapi jika panggilan telepon dan pesan singkatnya saja diabaikan oleh Silvia, ia sangsi gadis itu mau menerima kehadiran Jihan di rumahnya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka dengan kasar. Jihan dan seluruh rekan kerja yang berada satu ruangan dengannya menoleh secara bersamaan.

Saat melihat siapa yang membuka pintu, seketika itu Jihan langsung bangkit dari kursi kerjanya. Matanya mengerjap tidak percaya. Silvia memasuki ruangan itu dengan langkah-langkah lebar.

"Ayo, ikut aku," ucap Silvia singkat. Nadanya terdengar memerintah.

"Eh?" gumam Jihan linglung. Ia menatap bergantian pada Silvia dan layar komputernya yang menyala.

"Matikan komputermu," perintah Silvia saat menyadari kebingungan Jihan. "Kita harus bergegas."

Jihan menelan ludah. Bagaimana mungkin ia mengikuti Silvia begitu saja? Bisa-bisa kepala divisinya meledakkan amarah kepada mereka berdua. Apalagi Silvia muncul tiba-tiba setelah absen dari kantor selama seminggu.

Tepat saat itulah pintu ruangan keramat itu terbuka. Kepala divisinya muncul dengan raut wajah kesal yang mendadak langsung menampilkan senyuman kaku. Pria berdahi lebar itu menganggukkan kepala pada Silvia. Jihan tidak mengerti apa arti anggukkan itu. Tetapi sedetik kemudian ia menurut saja saat Silvia menarik pergelangan tangannya, membawanya meninggalkan pekerjaan menumpuk di atas meja.

***

Sedan hitam mewah meluncur pergi meninggalkan area perkantoran. Jihan dan Silvia duduk di kursi penumpang belakang. Seorang pemuda dengan setelan jas yang rapi, duduk di samping sopir yang mengendalikan mobil.

Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam benak Jihan. Tetapi tidak sedikit pun ia berani bersuara. Ia hanya bisa memperhatikan penampilan Silvia yang mengenakan setelan blazer dan rok span berwarna kelabu. Blus putih di balik blazernya, tampak pas dengan kulit Silvia. Rambut Silvia digelung tinggi seperti biasa. Sedikit kurang rapi karena beberapa helai rambut tampak lepas dari ikatan.

"Ada meeting yang harus Anda hadiri setelah ini, Nona Silvia." Tetapi lelaki muda yang duduk di depan bersuara, memecah keheningan yang menyesakkan di dalam mobil.

Jihan mengernyit bingung. Apa ia tidak salah dengar? Mengapa orang ini memanggil Silvia dengan sebutan 'nona'?

Silvia menghela napasnya dengan kesal. "Sudah kukatakan, batalkan jadwalku untuk tiga jam ke depan."

"Tapi, meeting kali ini ...."

"Ck, lakukan saja," tukas Silvia tidak terbantahkan.

Lelaki itu mengangguk pasrah dan mulai sibuk berbicara melalui ponselnya.

"Silvia, apa kau sudah pindah bekerja?" Jihan tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

Silvia menggeleng. "Kita tetap bekerja di gedung yang sama. Hanya saja aku pindah ke lantai atas."

Orange Sunset ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang