DELAPAN (1/2)

316 25 0
                                    

JIHAN tidak mengerti mengapa ia menangis.

Tetapi setidaknya ia bersyukur karena otot-otot matanya masih cukup kuat untuk menahan agar tangisnya tidak tumpah di sembarang tempat. Tetes pertama air matanya jatuh tepat setelah ia menutup dan mengunci pintu flatnya. Ia menempelkan punggungnya pada daun pintu, lalu perlahan merosot hingga ia duduk bersandar dengan kepala tertunduk. Sedetik kemudian, tetes demi tetes ikut meluncur di pipinya tanpa diminta.

Jihan benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya mengapa air matanya tumpah begitu saja seperti air bah? Seharusnya ia merasa lega karena Silvia dalam keadaan baik-baik saja. Tadi mereka bertiga—Jihan, Rangga, dan Julian bergegas membawa Silvia ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa Silvia mengalami anemia ringan karena kekurangan asupan makanan.

Saat itulah Jihan baru menyadari porsi makan Silvia yang menurun drastis akhir-akhir ini. Wajah pucat Silvia berkelebat di balik kelopak matanya. Ucapan Silvia yang mengeluh sakit kepala terngiang di telinganya. Mengapa ia baru menyadarinya sekarang?

Jadi, apakah ini adalah air mata penyesalan? Bukan.

Kali ini, benak Jihan membuka layar putihnya lebar-lebar. Sementara batinnya mulai memucat dan menggigil dalam selimut hangatnya. Bayangan wajah Rangga yang penuh kekhawatiran berkelebat di atas layar putih itu.

Slide berganti cepat menampilkan adegan Rangga yang membopong Silvia. Kemudian wajah pucat Rangga ketika berbicara dengan dokter. Walaupun sangat khawatir, tetapi Rangga memilih untuk tidak menghubungi orang tua Silvia maupun orang tuanya. Ia tidak ingin membuat cemas orang tua mereka yang sedang pergi bersama ke Sydney.

Berlibur bersama? Jihan mengernyitkan keningnya dengan pahit. Ah, syukurlah .... bahkan keakraban orang tua mereka tidak diragukan lagi. Seharusnya ia turut berbahagia atas kelancaran hubungan percintaan sahabatnya itu.

Sahabat ... pantaskah ia menyebut dirinya sahabat Silvia?

"Jihan? Kaukah itu, Nak?"

Sebuah suara yang berasal dari kamarnya membuat Jihan terkesiap. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa ibunya datang kemari tadi pagi? Bergegas ia bangkit dan menghapus air matanya dengan punggung telapak tangannya. Tetapi sebelum sempat ia menjawab, seraut wajah khawatir ibunya sudah hadir di hadapannya.

"Jihan ... apa kau baik-baik saja?" Alarm kekhawatiran ibunya tampak berkelap-kelip di atas kepalanya.

Tidak.

"Ya. Aku baik-baik saja, Ma," jawab Jihan sambil memaksakan seulas senyum. "Hanya saja ... tadi Silvia jatuh pingsan."

"Oh, astaga. Lalu di mana Silvia sekarang? Bagaimana keadaannya?" Jihan bisa mendengar jelas kekhawatiran yang berlipat ganda dari nada bicara ibunya.

"Dia ada di rumah sakit sekarang. Kondisinya sudah membaik. Hanya butuh istirahat. Mungkin besok pagi dia sudah diperbolehkan pulang," ujar Jihan sambil tersenyum meyakinkan.

Laura menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu. Lalu kenapa kau tidak menemani Silvia di rumah sakit?"

Jihan mengigit bibir untuk menahan air matanya saat wajah Rangga kembali muncul di benaknya. "Tidak. Dia ... sudah ada yang menemani," kata Jihan setengah berbisik lirih menahan perih. "Aku akan kembali lagi nanti malam."

"Mama ingin menemanimu ... tapi kau tahu bukan kondisi pamanmu seperti apa?" Laura mengulurkan tangan dan membelai rambut anak gadisnya.

Jihan menganggukkan kepalanya mengerti. Kondisi kesehatan pamannya memang memburuk sejak lima tahun yang lalu. Berbagai macam pengobatan tidak cukup membantu untuk membuatnya sembuh dari penyakitnya. Belum lagi, kehidupannya yang sebatang kara setelah istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Itulah mengapa, begitu Jihan lulus SMA, orang tuanya memutuskan pindah ke kota tempat tinggal pamannya.

Orange Sunset ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang