Page Seven : I'm not (his) unicorn.

158 31 4
                                    

"Mau apa kamu?! Sudah puas menyakiti mama saya?!" air mata Keira mulai berjatuhan saat itu juga.

Ayahnya berbalik melihat kearah Keira dan ingin memeluknya, tapi Keira malah lari keluar. Keira lupa bahwa tadi dia bersama Dylan. Keira terus berlari, walaupun dia mendengar Ayahnya berteriak memanggil namanya. Dia tak peduli. Ingin sekali dia mengirim Ayahnya jauh dari bumi ini.

Dylan yang melihat semuanya berlari mengejar Keira meminta penjelasan.

"Kei!" Keira masih terus berlari, dan berhenti saat tiba di taman rumah sakit.

Dia duduk di kirsi taman agak jauh. Dylan yang mendapat Keira duduk, menghampirinya.

"Kei.. Maaf ya, gue liat privacy lo." Dylan duduk disamping Keira sambil menunduk.

Keira masih sesegukan menangis dan tidak menjawab Dylan. Dia memilih menundukkan kepalanya dan terus menangis. Kedua tangan Keira mengepal seolah menahan tangis yang bisa semakin jadi.

Dylan yang tidak tahan melihat situasi seperti ini, langsung menenggelamkan Keira dipelukannya.

"Nangis Kei, lo nangis aja. Keluarin semuanya. Gue tau lo kesal sama bokap lo, lo bisa lampiasin kemarahan lo ke gue." jelasnya, Keira menangis dipelukannya.

Keira membalas pelukan Dylan, dan memejamkan matanya. Dia berharap, semua yang dia lihat itu adalah imajinasinya saja, dimana Ayahnya menyiksa ibunya, dan Ayahnya kembali lagi membuat luka itu menjadi terasa perih.

Keira yang seharusnya menghabiskan waktu bersama keluarga, tapi sejak kecil pemandangan Keira hanya itu-itu sja. Pertengkaran, barang-barang yang rusak, air mata, kesedihan yang selalu menemani Keira.

Keira harap semua ini hanyalah mimpi, dia berharap bangun dan mendapati kehidupan yang bahagia layaknya keluarga kecil yang normal. Selama ini, Keira hanya melihat orang tua Sarah dan Alin yang bahagia dan saling mencintai.

Keluarga kedua sahabatnya itu benar-benar berbanding terbalik dengan keluarganya. Keira yang selalu bermimpi hidup di dunia fantasi hanya bisa tersenyum miris melihat semua itu.

Tapi, saat Keira membuka matanya dia hanya melihat sosok Dylan. Sosok laki-laki tinggi, dan berbeda jauh darinya yang baru saja dia kenal memasuki kehidupannya begitu saja. Seolah takdir mempermainkannya.

Dylan yang membuat Keira hanyut bersama perasaan aneh ini, Dylan yang membuat Keira lupa bahwa dia menyukai Arkan, Dylan yang membuat Keira merasakan pelukan ternyaman selain ibunya.

Keira melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya. Terukir senyuman (paksa) di bibir manisnya, Dylan yang melihat hal itu ikut tersenyum.

"Lo kalau ada masalah, cerita sama gue. Gue siap denger kok." ucap Dylan sambil mengusap punggung tangan Keira.

Keira hanya mengangguk. Dia ingin pulang,

"Dylan, gue mau pulang."

"Pulang sekarang? oke." Dylan menarik lengan Keira. Lengan yang sama. Tangan yang sama. Dylan melakukan itu pada Keira.

-

Sesampainya mereka dirumah Keira, dia mempersilakan Dylan untuk duduk.

"Dylan, lo mau minum apa?" tawarnya pada Dylan saat Dylan duduk di sofa putih ruang tengah.

"Apa aja," Dylan mengerluarkan ponselnya dan memasuki dunianya sendiri lagi.

Keira mengangguk dan masuk ke dalam dapur. Berfikir apa yang akan dia suguhkan pada tamunya. Biasanya, Ibu Keira yang akan menyajikan ini semua. Tapi, sekarang hanya dialah satu-satunya dirumah ini.

B r o k e nTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang