Page one

442 63 8
                                    

Kicauan burung mengawali hari senin yang terkutuk ini. Aku harus bangun lebih awal, karena ini hari senin. hari keramat bagiku.

Aku mengumpulkan sisa-sisa energiku lalu berjalan dengan menguap ke kamar mandi. Aku terdiam. Aku memejamkan mataku sejenak menikmati dinginnya kamar mandi.

Air yang mengalir dikeran sebagai lagu pengantar tidurku.

"Keira! Bangun nak, udah pagi." suara melengking lembut Ibu terdengar setiap pagi. Membuatku melotot.

Aku pun mandi.

Sekitar 20 menit aku keluar dari kamar mandi. Cukup lama. Tapi begitulah waktu standarku saat mandi.

Aku mengambil tas jinjing transparantku, memasukkan tiga buku tulis dan macbook air berwarna abu kedalam tasku. Tak perlu membawa buku cetak yang berat, aku sudah mendownload semua file buku cetak didalam macbookku.

Aku menyisir rambutku dengan hati-hati, karena rambutku sangatlah rontok. Ditambah rambutku yang sangat panjang. Membuatku susah untuk merapikannya. Jadi aku memilih untuk mengikatnya asal dengan jepitan yang kubeli dengan kedua tuyulku kemarin.

Pintu kamarku terbuka. Memperlihatkan sosok perempuan yang sama tingginya denganku. Dia sangat cantik walaupun tanpa riasan diwajahnya. Tentu saja dia cantik, toh dulu dia primadona sekolahnya.

Ibuku. Sosok perempuan yang sangat kuat. Dia benar-benar kuat mendidikku yang sangat bandel. Dia tak pernah mengeluh dengan ocehanku. Sampai sekarang dia bahkan mempertahankan pernikahannya seorang diri.

Setiap kali aku melihatnya mataku selalu berkaca kaca. Walaupun dia sedang tersenyum, entah kenapa hatiku sangat sakit melihatnya.

Aku sangat bersyukur memiliki ibu sepertinya.

Dia tersenyum menggeleng kearahku. Dia menuju ke tempatku berdiri sekarang.

"Keira... keira. Kamu tuh ya, anggun sedikit kenapa sih? rambut kamu itu diginiin aja," dia mulai membuka ikatan rambut asalku dan mengikat ulang rambutku.

Dia sangat lembut. Dia juga tetap tersenyum walaupun dia merasakan sakit hati. Ibu adalah wanita terkuat yang pernah kutemui.

Rambutku dikepang. Dia mengepangnya, sangat sederhana. Dia mengepangnya dengan mudahnya. Padahal aku sudaa belajar caranya mengepang rambutku. Tapi aku tetap tak bisa.

Rambutku telah siap. Dia hanya mengepang sedikit rambut dipinggir lalu menyatukannya kebelakang. Kulihat yang dia pakai untuk menyatukannya adalah ikat rambut pita pink yang diberikan Dylan teman SD nya dulu.

Aku terlihat sangat feminim sekarang. Ingin sekali aku melepasnya. Tapi, kuurungkan niatku. Karena ini adalah hasil kepangan ibuku.

Aku tak ingin melihatnya kecewa.

"Nah, kan sudah bagus. Kamu jadi tambah cantik deh." Ibuku mencubit pipiku gemas. Aku tersenyum tak mengucapkan apapun lalu memeluknya.

Aku sangat menyayanginya. Kuharap Tuhan tidak mengambilnya. Aku ingin dia tetap bersamaku. Aku sangat menyayangi ibuku.

Acara peluk-pelukanpun selesai. Mataku mulai berair. Tapi ibuku tetap tersenyum menenangkanku. Dia selalu saja bisa menenangkanku dengan senyumannya.

Kami pun keluar dari kamarku dan berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan.

Dimeja sudah ada sandwich dan susu putih. Aku segera melahapnya tanpa duduk terlebih dahulu.

"Ih, keira. Ga baik makan berdiri. Duduk dulu.." Ibuku kini mengomel karena aku yang sangat terburu buru.

Tentu saja aku buru-buru. Ini sudah jam 06.45 bisa saja aku terlambat upacara. Apalagi ditambah kemacetan dimana-mana. Kau tau kan? kemacetan bukan hal asing lagi dipulau jawa.

B r o k e nTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang