***
Aku berjalan santai menuju rumahku. Aku sangat lelah karena bermain tadi. Kulitku rasanya seperti terbakar karena tersengat sinar matahari. Celanaku basah kuyup sementara kausku lembab. Aku tadi berenang tanpa kaus. Aku memegang kedua sepatuku di tangan kiri. Aku masih membawa sepatu karena aku belum pulang semenjak dari sekolah tadi. Tapi, tasku sudah kuberikan pada Karen untuk dibawa pulang. Sehingga, aku tidak perlu repot-repot membawanya.
Rasa takut itu kembali lagi. Rasa takut akan benda tajam. Aku segera menaruh sepatu di tanah dan langsung mengenakannya. Terasa sangat tidak nyaman karena kaki penuh dengan pasir yang menempel. Menempel karena kakiku basah. Bisa-bisa sepatuku rusak.
Aku melihat rumah besar dengan cat berwarna putih. Rumahnya mewah. Tapi, tak semewah rumahku. Rumahnya memiliki 2 tingkat. Dan ada balkon di lantai 2. Rumahnya tak terlalu terurus. Terlihat dari lumut yang tumbuh tak beraturan dan beberapa cat yang sudah melapuk.
"Hai Lukas." Kata ibu Clara. Ia sedang menyiram tanamannya di halaman depan rumahnya. Aku kenal dengan ibunya Clara karena ibuku berteman dengan ibunya Clara.
"hai juga nyonya Willemsen."
Nyonya Willemsen adalah seorang perempuan yang memiliki rambut coklat sedikit keemasan. Rambutnya yang keriting tak ia turunkan kepada Clara. Kulitnya putih. Tapi tak pucat. Matanya berwarna hijau. Logat Belandanya yang khas menandakan ia asli dari Belanda.
"Mau kemana Lukas?"
"Pulang nyonya."
"Hei tunggu sebentar." Sontak aku berhenti. Aku sebenarnya juga tak tau apa mau di sampaikannya.
"Kami punya pisang lumayan banyak. Kau mau?" tanyanya
"Hmm.. boleh." Kataku "Makasih nyonya."
Nyonya Willemsen masuk ke dalam rumahnya meninggalkan alat kebunnya di tamannya. Aku memperhatikan kebun keluarga Clara. Bunganya bagus-bagus. Tapi kebanyakan yang kulihat adalah bunga Anggrek khas Nusantara. Dan ada beberapa bunga yang tidak kuketahui namanya.
Aku melihat sekitar rumah keluarga Willemsen untuk mencari Clara. Entah mengapa aku ingin melihat wajahnya lagi. Bukanya aku suka dengan dia. Tapi, ya, aku mau lihat wajahnya saja. Tapi aku tak melihat keberadaan Clara sama sekali.
Tak lama kemudian, Nyonya Willemsen keluar dari rumahnya dengan membawa beberapa pisang di tangannya. Pisang itu berwarna kuning cerah yang kelihatannya baru dipetik langsung dari pohonnya. Aku tak tau keluarga Willemsen memiliki pohon pisang. Atau dia membelinya.
Terdengar suara tembakan yang asalnya tak jauh dariku. Aku menutup telingaku dan berjongkok. Berharap tidak ada peluru yang mengenaiku. Suara tembakan itu terjadi lagi. Yang kuhitung sudah ada 3 tembakan. Aku tetap menutup telingaku sambil berjongkok menatap ke bawah. Aku tidak berani kabur. Rasa ketakutan di dalam diriku bergejolak seperti ombak di pantai.
Badanku bergetar. 1 menit setelah tembakan terakhir terdengar, aku membuka telingaku. Aku berdiri dengan sangat hati-hati.
Aku sangat berharap, siapapun yang menghasilkan suara tembakan tadi sudah pergi.
Keheningan mulai terjadi. Bukan karena tidak ada suara apapun disini. Tapi, sesosok perempuan dengan noda darah di pakaian dan di sekitarnya terbaring tak bernyawa. Nyonya Willemsen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Girl With Her Gun
FantasyGadis itu biasa bermimpi tentang sesuatu yang bersejarah. Penjajahan Indonesia, Pembangunan piramida Giza di Mesir, dan Jatuhnya Bom Nagasaki ada dalam mimpinya. Semua yang ada di dalam mimpinya benar-benar terjadi di masa lalu. Tapi pada suatu hari...