8 Tentang Iqbal

4K 187 7
                                    

Istirahat dimulai dari 5 menit yang lalu. Namun belum ada tanda-tanda Alice akan beranjak meninggalkan kursinya. Ia masih asik dengan pena bertinta merah dan menuliskan ‘maju atau mundur’ secara bersamaan berulang kali, mengabaikan ajakan teman-temannya yang berlalu dari tadi.

“Kalau udah nggak nyaman, ngapain juga sih masih dipaksain?” Gadis itu menoleh dengan cepat mendapati Iqbal duduk tepat di kursi depan meja Alice yang diputarkan ke belakang. Tangan kirinya menopang kepala dengan malas sedangkan tangan kanan asik mengeluarmasukkan permen kaki berwarna merah. Alice menutup bukuya dengan dengusan.

“Apaan sih? Lo ngatain gue?” Iqbal terkekeh pelan kemudian mengambil permen yang sama dari saku seragam, membukanya, kemudian menyodorkan pada Alice yang langsung diterima tanpa penolakan.

“Nggak. Tu si Alwi perut buncit gitu maksain pake baju ukuran gue, ya nggak bakalan nyaman.” Alice menoleh pada Alwi yang duduk di pojok belakang memaksa mengancingkan baju di bagian perut yang naasnya selalu kembali terbuka begitu dilepaskan bahkan meskipun ia terlihat kesulitan menahan napas.

“Taruhan gue, besok itu kancing pada pritil semua.” Alice mau tak mau terkekeh dan kembali mengamati Iqbal yang kemudian membuka sebungkus nasi goreng di hadapannya setalah membuang tangkai permen yng telah habis dengan asal.

“Gue laper parah, pagi tadi nggak sempet sarapan.” Iqbal kemudian menyuapkan satu sendok besar nasi goreng menggunakan sendok plastik bawaan nasi goreng.

“Laper apa doyan? Gila, Lo beli porsi jumbo?” Alice menatap horror nasi goreng dengan 2 telur mata sapi dan 1 telur dadar yang cukup untuk 3 orang. Kemudian ia membuka plastik kerupuk yang tidak lupa dibawa Iqbal.

“Ya kagak lah. Cuma super jumbo doang. Buka mulut!” Kemudian Iqbal menyuapkan satu sendok nasi goreng dengan potongan telur mata sapi yang diterima Alice dengan mata berbinar. Gadis itu menambahkan kerupuk emping kesukaannya dan menutup mata menikmati duet maut segala isi mulutnya saat ini.

“Lo harus bantu gue ngabisin ini! Perjuangan banget di kantin rebutan nyaris tergencet gue.” Iqbal kemudian meneguk air mineral yang dibawanya dan kembali menyuapi gadis di hadapannya yang mengangguk antusias. Nasi goreng dengan telur mata sapi plus kerupuk emping udah bikin sahabatnya bahagia, iya sesimpel itu membahagiakan gadis bermata indah yang dikenalnya semenjak kecil itu.

Momen seperti ini sebenarnya momen langka. Iqbal sering berkunjung ke kelas Alice dan keseringan kepergok oleh Resta sehingga mau tidak mau ia hanya berlasan mengunjungi Ghea. Kebetulan hari ini ketiga sahabat Alice yang berada di kelas yang sama memilih mengisi perut ke kantin dan meninggalkan Alice sendiri di dalam kelas, sehigga Iqbal dapat dengan leluasa menikmati makan siang bersama Alice setidaknya sebelum ketahuan oleh Resta.

“Nyokap lo udah balik?” Alice menyeruput jus jeruk yang tidak lupa di bawa oleh Iqbal, benar-benar paket lengkap.

“Udah.” Singkat. Hanya itu kemudian Iqbal sibuk memisahkan kuning telur untuk kembali disuapkan pada Alice.

“Seriusan? Kok lo nggak ngabarin? Kan gue mau ketemu tante Lili. Kangen puding buah buatan tante.” Alice memberengut kesal. Namun tidak bertahan lama ketika Iqbal kembali menyuapi nasi goreng.

“Iya serius. Udah balik lagi ke dunianya.” Jawab Iqbal acuh. Alice tahu, sahabatnya itu tidak ingin menunjukkan apa yang ia rasakan.

Dari kecil, Iqbal tidak mendapatkan waktu yang cukup dengan kedua orang tuanya. Proyek pengembangan obat-obatan baru di Jerman mengakibatkan kedua orang tua Iqbal harus menetap untuk waktu yang lama di sana. Sehingga Iqbal dari kecil tinggal bersama Alice dan sudah dianggap anak sendiri oleh Harry dan Juwita.

Orang tua Iqbal hanya pulang 3-4 kali dalam setahun, dan itu hanya menetap beberapa hari di Indonesia sebelum kembali ke Jerman. Bahkan ayahnya sendiri sudah 3 tahun tidak bertemu dengan Iqbal akibat kontrak dan proyek kerja sama yang begitu mengikat. Iqbal pernah diajak tinggal dan melanjutkan sekolah di Jerman, tentu saja Iqbal menolak. Selagi ia mendapatkan kiriman uang yang cukup, bahkan belakangan tidak ia sentuk akibat usaha advertising yang baru dirintisnya, Iqbal tidak masalah jauh bahkan tidak bertemu dengan orang tuanya.

“Mending gue nggak makan di sini daripada harus pindah ke sana.” Itu jawaban Iqbal ketika Alice bertanya mengapa ia tidak memilih ikut bersama orang tuanya. “Tapi kan setidaknya di sana ada orang tua lo, ada yang meratiin lo, ada yang urus-“ , “Bagi gue, orang tua lo, Bang Anda, dan lo udah cukup jadi keluarga gue di sini. Gue nggak butuh orang tua yang pikirannya cuma gimana cara menambah saldo di rekening atau nambah rumah dan tanah untuk investasi, tapi lupa punya anak yang mungkin kehadirannya sering mereka abaikan.” Belum sempat Alice berkomentar, pernyataan Iqbal selanjutnya menutup rapat mulut Alice tanpa ingin mengungkitnya lagi. “Please! Ini pembahasan terakhir kita tentang ini. Bahkan kalau gue boleh milih, gue lebih baik terlahir di keluarga miskin namun kaya kasih sayang, bukan harta belimpah tapi mati rasa.” 

“Lo makan celemotan banget sih!” Iqbal mengulurkan tangannya dan menghapus sisa minyak yang membekas di sudut bibir Alice. Kemudian ia mengelus kepala Alice pelan. Alice menaikkan alisnya merasa aneh dengan perubahan sikap Iqbal yang tiba-tiba setelah mereka saling diam beberapa menit.

“Lo kenapa? Sakit?” Alice mengulurkan tangannya dan memeriksa kening Iqbal yang saat ini malah mengerucutkan bibirnya sambil mengangguk manja. “Sarap!” Tepat pada saat Alice ingin mendorong kepala Iqbal yang ntah bagaimana semakin dekat dengan wajahnya suara dehaman yang cukup keras membuat Alice panik setengah mati.
“Eh.. Ooh.. Udah lama Kak?” Alice tersenyum salah tingkah kemudian mendorong bungkusan nasi goreng ke arah Iqbal.

“Cukup lama untuk melihat ada yang main dokter-dokteran di dalam kelas.” Resta menarik tangan kanan Alice dan menarik gadis itu menjauhi Iqbal. Alice panik tentu saja. Ia menoleh pada Iqbal berharap lelaki itu dapat menyelamatkannya, setidaknya meluruskan kesalahpahaman yang terjadi namun mirisnya bocah tengil itu justru menggigiti timun yang tersisa di bungkus nasi goreng sambil melambaikan tangan dan tersenyum puas.

“Kamu jaga jarak dari dia!” Resta mengeluarkan titahnya.

“Tapi dia sahabat aku Kak!”

“Tidak peduli! Yang namanya laki-laki tetap saja laki-laki!” Resta megeratkan genggaman tangannya.

“Aww.” Alice menarik tangannya paksa dan membuang muka. “Egois.” Desisnya pelan.

“Kita sudah terlalu sering memperdebatkan ini. Jangan batu!”

“Tapi kan...”

“Tidak ada bantahan!” Resta masih menatap mata Alice yang juga balik menatapnya.

Iqbal yang menikmati tontonan gratis di depannya berdecak kesal mendapati tidak ada lagi timun yang tersisa. Kemudian ia bergegas dan sengaja berjalan mendekati pasangan yang terlihat tengah terbakar api cemburu. Niat hati ingin melambaikan tangan pada Alice namun keburu dilihat oleh Resta yang menggertakkan giginya terlihat dari rahangnya yang mengeras.

“WOOOY ALWIII! DIET LO!” Belum sempat Alwi membantah karena mengomentari bentuk badannya yang menurut pacarnya sudah paling seksi itu, Iqbal ngacir dan melambaikan tangan perpisahan pada Alice. Setidaknya Iqbal selamat sebelum setengah jam lagi diterjang Alice saat latihan.

Please! Jangan dekat-dekat dia lagi!” Kemudian Resta menepuk pipi Alice-yang tiba-tiba memerah- sejenak dan tersenyum hangat, senyuman yang menurut Alice sangat langka lebih langka dari kemunculan komet Halley-sebelum meninggalkan gadisnya yang masih mematung.

“Gimana gue betah marah kalau lo manis gini?” Ucap Alice sambil memegang pipinya yang kian bersemu.

Drrrt Drrrt
Alice mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya dan memuka pesan dari nomor tidak dikenal.

From 081234**
Masih senang bersenang-senang dengannya? It’s Ok. Ingin merasakan senang-senang dengan gue?

÷÷÷÷÷

Ke depannya sebagian cerita diprivate yaa, karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Hahaha, so yang ingin lanjut silakan follow dulu. Diusahakan update rajin-rajin karena udah mulai nyantai.

Possessive Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang