7 Paksaan

5K 219 2
                                    

"Aku tidak akan pernah pergi." Genta menggenggam erat tangan Arini.

Tatapan mereka bertemu. Bibir mereka saling diam namun empat mata itu mengutarakan segalanya.

"Maafkan aku Genta. Kita tidak mungkin bersatu! Kita saudara sepersusuan!" Arini melangkah menjauh, namun satu tangannya kembali diraih kekasihnya.

"Tatap mataku! Dan katakan kau tidak mencintaiku!" Genta berucap nanar.

Keadaan sesaat hening. Kembali mata mereka bertemu.

"Maafkan aku." Arini tertunduk. Air mata tak lagi mampu ia tahan. Bahkan menganak sungai melalui pipinya yang lembut. Sedang Genta masih menggenggam tangan itu erat. Tiba-tiba Arini meringis dan tangisnya jadi setengah meraung.

Hanya ada isak tangis Arini yang menjadi-jadi.

"CUT!!" Armad menghempaskan naskah yang ia genggam. Bahkan sudah remuk di tangannya sendiri.

Ia menjambak rambutnya kesal. Suasana menjadi hening. Tidak ada yang berani bersuara.

"Kita break 30 menit." Semua diam.

Armad melangkah gusar menjauhi tim drama yang tidak kunjung melangkah ke scene berikutnya meskipun tidak berhenti latihan dari 2 jam yang lalu.

Alice melepaskan tangannya yang digenggam Iqbal.

"Maafin gue." Masih menunduk, ia berjalan ke pojok ruangan dan menghempaskan tubuhnya bersandar pada tembok. Lututnya tertekuk dan wajahnya terbenam pada kedua kakinya.

"Apa-apaan sih lo baper? Ini cuma acting baby." Iqbal duduk selonjoran di sisi Alice.
Alice tidak bereaksi.

Tangan Iqbal menyeka keringat yang tidak diketahui ntah apa sebabnya, padahal ruangan besar ini dilengkapi 4 ac di setiap sudutnya.

"Cewek.. eeehmm." Iqbal nyenggol bahu Alice dengan bahunya dengan suara menggodanya.

Brug!

Alice terjatuh dan wajahnya bablas menyentuh lantai.

"Kampret! Lo gak liat gue lagi apa?!" Alice gemas sampai mencubit pipi Iqbal yang mengganggu renungan sucinya.

"Aaaaa... aaaa... sakit Alibaba!" Iqbal melepas paksa tangan Alice dan mengelus pipinya yang menjadi korban keganasan Alice. Ia meringis sesaat.

Wajah manyun itu tiba-tiba terdiam tanpa ekspresi saat melihat mata Alice yang bengkak dan hidungnya merah kontras dengan dengan kulit putihnya.

"Lo kenapa Ce?" Tangan Iqbal terulur dan menghapus sisa air mata Alice. Alice mencabik.

"Lo gak bisa ngerti perasaan gue!" Alice mengalihkan pandangannya.

Hatinya terasa bergemuruh setelah mendengar ajakan Resta. Bukan gemuruh yang menyalurkan sensasi rasa membuncah, setelah adegan yang jauh dari angan-agannya tentang lamaran romantis.

"Seenggak ngerti apapun gue perasaan lo, tetap gue yang paling ngerti lo. Bahkan gue lebih ngerti daripada diri lo sendiri." Iqbal menyentuh rambut hitam Alice yang kini membuang pandang darinya.

Ia memejamkan mata.

Alice juga memejamkan mata. Kata-kata Iqbal selalu menenangkannya.

Iqbal benar. Ia yang paling mengerti Alice selama ini. Bahkan saat ia tidak mengerti dirinya sendiri.

Alice terbiasa manja, terlebih pada Anda dan sahabat kesayangannya itu. Dan ia mulai mencoba mandiri dan bersikap dewasa semenjak menjalin hubungan dengan Resta.

Bahkan Alice tidak dapat menjelaskan mengapa ia tidak bisa manja dengan cowok yang hampir 5 tahun selalu bersama dengannya.

"Pulang ntar rujak serut yuk? Hidup gue terlalu manis, gue butuh yang asem-asem biar greget." Iqbal tertawa samar begitu melihat kepala Alice yang tidak berhenti mengangguk dengan mata yang melebar. Tangan lelaki itu terjulur mengacak pelan kepala Alice.

Possessive Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang