2 Andresta Hermawan

11.2K 406 4
                                    

Usai mengirimkan pesan singkat kepada kekasihnya, ia tak melepaskan pandangan dari handphone yang ada di genggamannya. Belakangan Angelica, tidak seperti dulu yang ia kenal.

Alice bersikap lebih dingin dan terkadang justru seolah jenuh dengan hubungan mereka. Pesan yang sering diabaikan, panggilan yang sering tak dibalas, atau bahkan menolak ajakan jalan dari Resta.

Namun semua fikiran miring tentang Alice berhasil ia singkirkan mengingat kekasihnya adalah seorang aktivis sekolah yang sering terlibat di berbagai organisasi dan sering mewakili sekolahnya di berbagai kejuaraan.

Bahkan baru-baru ini, Resta benar-benar terbakar cemburu karena Alice mau tidak mau menerima tugas Latihan Dasar Kepemimpinan tingkat dasar selama seminggu di luar kota bersama Gitto, ketua OSIS yang namanya saja malas Resta dengar.

Berlibur berdua bersama lawan jenis selama seminggu pula, tentu itu bukan pertanda baik.

Semenit...
2 menit...
3 menit...
...
...
25 menit....

Melihat tidak ada tanda-tanda pesannya akan di balas, ia mengacak asal rambut sambil setengah teriak melepaskan amarahnya. Ia tidak pernah sefrustrasi ini menghadapi perempuan, apalagi itu kekasihnya.

Tidak buang waktu lebih lama, Resta bangkit dari tempat tidurnya dan memilih untuk bersiap berangkat ke sekolah. Hari Sabtu, ya... berarti hari ini penentuan apakah ia ikut terpilih sebagai pemain inti basket untuk mewakili sekolah di kejuaraan provinsi atau tidak, tapi siapapun pasti tahu jawabannya.

Tidak memakan waktu lama, ia melenggang meninggalkan kamar dan tidak lupa membawa serta sekotak coklat yang akan diberikannya hari ini pada Alice. Mengingat hubungan mereka yang telah menginjak usia 57 bulan.

Resta tersenyum sesaat membayangkan wajah Alice yang senang bukan kepalang menerima coklat yang telah dipersiapkannya jauh-jauh hari.

"Ma, Esta berangkat dulu Ma." Resta berjalan melewati ruang tengah tanpa menoleh pada Vikra, mamanya yang tengah memasak di dapur.

"Kamu nggak sarapan dulu apa?" Kepala Vikra nyembul diantara jendela yang menghubungkan dengan dapur sambil membawa spatula.

"Enggak deh Ma." Seperti teringat sesuatu, ia berbalik menghampiri Vikra dan mencium tangan wanita itu. Ia nyengir sambil menggaruk kepalanya, setidaknya hal yang dulunya asing mulai terbiasa sejak Alice masuk dalam hidupnya.

"Hehehe, lupa Ma. Esta berangkat Ma. Daah." Vikra yang melihat tingkah anak semata wayangnya hanya geleng-geleng kepala.

"Hati-hati Sayang!" Setengah berteriak Vikra kembali ke dapurnya, melanjutkan aktivitas tiap paginya dibantu dengan Bi Tinah.

÷÷÷÷÷

Gisel merangkul erat teman baiknya yang kini terlihat depresi tidak karuan.

"Cup cup cup. Alice sayang, kamu pasti bisa! Gue percaya. Itu dialognya pendek-pendek kok." Sambil menepuk pundak Alice, Gisel menguatkan gadis itu yang mulai pesimis untuk bisa memerankan tokoh utama untuk perlombaan bulan depan.

Ghea, Fista, Keke, dan Xelon ikut tersenyum mantap dan memberi kekuatan lebih pada Alice.

Mereka tahu, Alice sedang berada dalam keadaan yang tidak baik saat ini. Bahkan gadis itu harus memilih untuk menjag perasaan Resta sehingga mundur teratur dari kandidat pemeran utama, atau memenangkan egonya dan menerima resiko apapun dalam hubungan mereka.

"Gue gak mungkin jadi pemeran utama kalau ada adegan beginian Gigi. Kak Esta gak bakal izinin gue." Kini teriakan Alice mulai berubah jadi rengekan dan bahunya berguncang.

Ia melampiaskan emosinya tertahan. Tidak bisa membayangkan mimpi menjadi tokoh utama akan tiba-tiba menguap saat mengetahui ada adegan pegangan tangan dan saling tatap pada naskah drama itu.

Possessive Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang