Untitled Part 9

18.5K 983 2
                                    

Wow.... Dia semakin seksi dengan alis terangkat satu.

Aku tidak menjawab pertanyaanya. Aku langsung duduk sebenarnya aku ingin meminta dia untuk mengantarkanku pulang ke hotel. Tetapi aku bingung harus darimana memulai percakapan yang awkward ini. sungguh.

"Bisakah kau mengantarkaku pulang?" Tanyaku hati-hati.

"Pulang? Ini adalah rumahmu. Jadi, disinilah kau pulang." Katanya lembut.

Rumahku? Tidak. Ini adalah istananya. Dan aku belum amnesia, karena seingatku rumahku ada di Jakarta. Dan aku harus pulang ke Jakarta bukan pulang di daerah Bali. Iya kan?

"Aku pikir ini istanamu. Dan ku mohon, ijinkan aku untuk pulang. Temanku pasti mengkhawatirkanku." Aku memohon kepada pria asing yang berdiri menatapku lekat dengan mata biru tajamnya.

"Aku hanya akan berbicara sekali. Jadi dengarkan dengan baik-baik.."

"Ini adalah rumahmu. Jika kau tidak suka maka biasakanlah untuk menyukainya. Dan aku tidak peduli teman-temanmu itu khawatir atau tidak denganmu. Dan lagi suka atau tidak kau akan tinggal disini bersamaku sebagia Luna. Kau paham?" Katanya sangat tegas sambil menahan bahuku erat-erat.

Aku sedikit meringis mendengar perkataan dan perbuatannya menahan bahuku. Jujur saja pegangannya dibahuku cukup sakit.

Dia langsung melepaskan bahuku ketika matanya menatap mataku yang aku yakini sedikit berkaca-kaca.

"Maafkan aku. Aku hanya terbawa emosi. Apakah kau baik-baik saja?" Tanyanya sambil membawaku untuk duduk di tepi ranjangnya. Aku mengerjapkan mataku untuk merespon pertanyaanya.

"Ya, hanya sedikit terkejut dengan perkataanmu."

"Maaf, mungkin kau masih bingung. Tetapi aku belum bisa menjelaskannya. Suatu hari nanti kau akan tahu apa yang kukatakan tadi..."

Suatu hari? Berarti akan ada hari lain bersama pria ini lagi? Astaga

"Hmmm, jadi ini rumahku?" Kataku sambil mengusap-usap daguku seolah-olah aku sedang berpikir.

Apa dia gila? Aku baru mengenalnya dan itu belum ada 24 jam. Dan dia sudah menyuruhku untuk tinggal dirumahnya? Dan lagi, menganggap rumah ini sebagai rumahku sendiri?

Aku sadar kalau aku cantik. Tapi, jangan segila ini juga kali pria ini menyukaiku dan memaksaku untuk tinggal dirumahnya. Kalau rumahnya diberikan atas namaku mungkin aku bisa menjualnya. Dan aku yakin, aku tak perlu bekerja dan meminta uang kepada Dad lagi jika menjual rumah ini.

Aku tersenyum memikirkan pikiran gilaku itu.

"Kenapa kau tersenyum? Apa ada yang lucu?" Tanyanya sambil mentapku lekat-lekat.

"Eh?"

"Sudahlah. Kau tak perlu memberitahuku. Lagipula aku sudah tahu kok." Katanya sambil berjalan kearah lemari coklat yang cukup besar. Aku pikir itu lemari pakaiannya.

Ehh, tunggu dulu? Aku memikirkan kata-katanya, 'Kau tak perlu memberitahuku. Lagipula aku sudah tahu kok.' Apa maksudnya?

Aku melihatnya lagi. Mencoba meminta penjelasan padanya. Tetapi sialnya, yang aku lihat adalah dia telah membuka T-shirt nya dan mulai memakai kemeja putihnya didepan mataku.

Reflex aku langsung menutup mataku sambil menjerit tak jelas atas tingkahnya.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau melepas T-shirtmu didepanku? Hah?" Aku berteriak.

"Bukannya ini pemandangan bagus? Bukalah matamu, lagipula yang kamu lihat hanya punggung saja." Katanya terdengar acuh tak acuh.

Aku membuka mataku dan aku semakin terbelalak. Dia memang telah selesai memakai kemejanya namun dia belum selesai melepas jeansnya dan belum menggunakan celananya yang lain.

Dan aku semakin menjerit ketika mengetahuinya. Aku mendengar dia terkekeh. Aku merasakan pipiku memanas. Astaga, ini begitu memalukan.

"Bukalah. Aku sudah selesai." Aku mendengar suaranya tepat ditelingaku. Aku langasung membuka mataku ketika merasakan nafas hangatnya menerpa leherku. Aku merinding.

"Hei, lihatlah dirimu dicermin. Wajahmu memerah. Memangnya apa yang kau pikirkan?" Tanyanya didepanku. Aku melihat bibirnya yang merah itu sedikit basah ohhh itu begitu seksi.

Aku langsung memegang pipiku yang memanas. Dasar pipi sialan. Mengapa harus semerah itu sih?

"Bbb... Bukan apa-apa" Kataku sedikit gugup. Aduh, memalukan.

Dia tertawa. Tidak, lebih tepatnya terbaha-bahak. Aku hanya menontonya saja.

Ya ampun, dia semakin tampan dengan tawa nyaringnya yang menggelitik telingaku.

"Apakah kau sudah selesai tertawa? Sepertinya kau lupa, kalau kau memiliki pertemuan." Aku mengingatkannya. Sebenarnya itu hanya pengalihanku saja agar tawanya dia berhenti. Sebab tawanya di begitu seksi. Asatag, berapa kali aku mengatakan kata seksi untuk pria ini. ini aneh.

Dan ketika kau pergi. Aku pastikan aku sudah kabur. Iya aku akan kabur secepatnya.

Di sedikit berdeham. Dan mengembalikan wibawanya yang tegas seperti pertama kali kita bertemu di lift.

"Baiklah. Jangan membuat kekacauan ketika aku pergi. Dan lagi, jangan kabur." Katanya sambil melangkah untuk meraih handle pintu.

Sial, dia tahu apa yang akan aku lakukan.

Tetapi aku masih punya cara lain agar bisa kabur. Mungkin berpura-pura menerima semua perintahnya yang tidak masuk akal bisa menjadi cara ampuh untuk pergi.

"Emm, bolehkah aku berkeliling? Kau tadi mengatakan bahwa rumah ini juga rumahku. Dan kau kan tahu aku tidak pernah melihat rumah ini. emmm jadi..."

"Ya aku mengijinkanmu untuk berkeliling dan kau tak akan bisa kabur. Sebab pengawal bersamamu." Katanya lalu menutup pintu dan menimbulkan bunyi yang menyentakkan pikiranku dari cara agar kabur secepatnya.

Pengawal? Itu tidak masalah.

My Man Is AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang