“Apa sudah boleh panik sekarang?” Dann menatap Rey yang berdiri diamsambil menatap jendela besar di depannya. Sebelah tangannya ditempelkan ke jendela itu. Tidak ada emosi yang bisa terbaca dari wajah Rey. Wajahnya saat ini tak ubahnya seperti wajah patung. Licin dan tanpa kerutan. Meskipun begitu, saat ini hatinya juga diliputi kerisauan sama seperti Dann. Nuva belum kembali sejak sore dia pergi. Dan sekarang sudah lewat waktu makan malam, bahkan sudah hampir tengah malam.
Neil malah terlihat sedang duduk santai di sofa tua bersama Alfred. Dia sedang mengulum sebatang permen lolipop di tangan kirinya. Alfred di sebelahnya sedang menghisap cerutu besar. Kelihatannya Neil yang membelikannya saat mereka berbelanja tadi.
“Sudahlah nanti juga dia pulang sendiri, dia kan sudah besar,” Neil berkata santai sambil menjilati permen lolipopnya. Alfred menimpali dengan menghembuskan asap cerutunya,”Dia akan baik-baik saja,” ujarnya santai sambil terbatuk kecil.
“Aku tidak akan mengkhawatirkannya kalau dia sudah kembali 3 jam lalu,” kata Rey. Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Meski sekarang sudah nyaris tengah malam dan sulit untuk menebak cuaca sekarang karena gelapnya langit, tapi Rey bisa merasakan perubahan tekanan dan suhu yang amat cepat di laut di depannya. Laut, beberapa saat sebelumnya begitu tenang dan jinak, sekarang terlihat seperti jubah hitam besar yang bergolak kesana-kemari dipermainkan angin.
Neil hanya mendengus. Alfred hanya menggosok kedua tangannya. “Anak gadis sekarang memang susah ditebak ya. Salah sedikit bicara mereka langsung ngambek dan kabur dari rumah. Tapi menurut pengalaman temanku, kalau dia sudah puas dan mendapatkan yang dia inginkan, biasanya dia akan pulang rumah,”
“Kalau begitu apa yang dia inginkan sekarang?” celetuk Dann.
“Hmm, kau tahu? Jalan pikiran wanita sulit sekali ditebak. Selalu berliku. Terkadang kita hanya bisa menebak kearah mana pikirannya akan membawa kita. Tapi, menurutku, dia akan menginginkan sebuah tempat bermalam yang nyaman, hangat, dan aman dari badai yang akan datang seperti ini,”
Mungkin tidak ada yang menyadari, tapi wajah Rey sedikit berkedut mendengar ucapan Alfred yang terakhir. Dia agak kaget mengetahui Alfred juga merasakan perubahan yang akan terjadi di lautan. Sudah setua itu, dan indra-indranya masih setajam ini, dia bukan orang sembarangan, gumam Rey.
“Badai?” alis Neil bertemu. “Badai apa?”
“Badai tropis mungkin, atau semacam itulah. Teluk ini memang sering dilanda badai seperti ini,”
“Ohh, kapan badainya tiba?” tanya Dann penasaran.
“Hmm, sekarang,” jawab Alfred tenang. Bersamaan dengan itu, angintiba-tiba bertiup kencang dan menderu seolah-olah mengamuk di sekeliling motel kecil itu. Kayu-kayu yang terlepas saling beradu hantam satu sama lain, besi-besi tua dan berkarat berderit, meronta dalam tamparan angin kencang. Lalu air, entah air laut atau air hujan, menyerbu seperti spleton pasukan tak takut mati. Menabrakkan dirinya ke dinding penginapan yang lapuk, dan mungkin berharap suatu hari nanti dapat merobohkannya.
Dann mengkeret mendengar bunyi angin di luar. Lalu dia beringsut menjauhi jendela besar. Namun Rey tak bergeming. “Uhh, Rey, tutup saja jendelanya. Kelihatannya badai ini akan berlangsung lama,”. Tapi Rey hanya diam.
“Biarkan saja, Dann, mungkin saja Rey bisa tidak sengaja melihat sesosok mayat mengapung di tengah laut, dan siapa yang tahu itu mayat siapa,” Neil tersenyum jahil sambil mengangkat kedua bahunya.
“Ini bukan waktuya bercanda Neil. Dan leluconmu barusan sama sekali tidak menyenangkan.” Sergah Rey.
“Maaf,maaf,”kata Neil, meski wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heroes of Gaia
FantasyKarena ini bukanlah legenda yang ditulis dengan tinta emas, melainkan dengan darah, airmata, dan cinta. Apa yang disandang oleh bahu mereka bisa membuat seluruh dunia membenci mereka. Bayangan hitam dari masa lalu yang terus menghantui bahkan dal...