Dibunuh atau Membunuh?

405 25 2
                                    

Baru saja aku menginjak area gerbang sekolah, semua mata langsung tertuju pada ku, tatapan mereka seperti tidak menginginkan kehadiran ku diantara mereka.

"Eh, masih aja tuh si pecun berani nongolin mukanya di sekolah, gue jadi dia sih udah gak bakal mau sekolah di sini lagi hahahaha" cemooh salah satu murid perempuan yang jalan berlawanan arah dengan ku, aku diam saja tidak menanggapi.

Ku lewati koridor, sepanjang jalan tatapan itu masih sama, perkataan mereka tentang ku pun masih sama. Sampai pada akhirnya aku melewati mading dan disana sudah ada beberapa anak murid yang sedang berkumpul dan ricuh saat melihat ku berada disekitar mereka.

"Eh, eh, minggir-minggir si pecun dateng, pantes aja anaknya pecun, ibunya aja pelacur hahahaha"

Aku terkejut saat melihat mading. Di sana terpampang dengan nyata foto ibu ku. Tidak hanya satu foto, tapi lebih dari lima! Masalahnya ini foto Ibuku yang sedang bercumbu dengan beberapa pria yang berbeda disetiap fotonya, dan di bagian paling bawah ada foto ku dengan ibu saat di toko baju kemarin.

"SIAPA YANG NEMPELIN INI?!" Teriak ku kepada setiap murid yang berdiri disekitar mading. Tiba-tiba Ambar, Kezia, dan Refa datang.

"Kita yang nempel, kenapa? Gak seneng?" Katanya sinis, "Oh, jadi ini alesan kenapa kita selalu gak boleh dateng ke rumah lo? Haha. Malu, ya, San punya ibu pelacur? Gak heran si kalo anak nya kaya pecun gini cium cowok orang seenak nya" ucap Ambar meremehkan, aku hanya bisa meremas rok ku sampai buku jari ku memutih, meluapkan semua emosi ku disana.

"Tega ya kalian?! Kalian cuma liat dari arah pandang kalian aja! Kalian gak pernah ngerti!" Air mata ku mulai menelusup keluar, aku langsung bergegas ke belakang gedung sekolah.

Menyendiri, menceritakan segala keluh kesah kepada rumput, tidak ada lagi teman, tidak ada lagi yang dapat ku percaya.

Aku berkorban, agar Ambar tak salah memilih pasangan, tapi justru aku yang tertimpa musibah.

Aku dikucilkan!

Aku terintimidasi!

Semua orang tidak menginginkan keberadaan ku.

Memang pada dasarnya pengorbanan seseorang tidak pernah dibalas dengan baik. Orang yang berkorban adalah orang yang bodoh, karna pada point besar pengorbanan seseorang suatu saat akan di injak-injak.

Manusia tidak pernah tau caranya berterimakasih, mereka tidak pernah tau seberapa besar pengorbanan orang lain untuk dirinya. Yang ada difikiran manusia hanya lah Orang lain salah dan dirinya selalu benar.

***

Semua anggota OSIS diperintahkan ke ruang OSIS untuk mengikutin rapat mendadak.

Aku menuju ruang OSIS dengan penampilan yang ruwet; mata sembab, muka kucal, hidung merah, seragam lusuh. Entah lah, aku sedang tidak memperdulikan penampilan.

Sesampainya aku di ruang OSIS, anggota lain belum hadir, hanya ada Ratih yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Eh, elo, San. Gue kira lo gak bakal dateng. Lagian lo ngapain dateng, sih? Emang masih dianggap jadi Waketos sama anak-anak? Gue rasa enggak deh. Mereka semua udah tau tentang keburukan lo, dan pembina OSIS pun bakal gantiin posisi lo sama gue" Ratih berkata dengan angkuhnya.

Ratih, orang yang ku anggap paling perduli, ternyata tidak seperti yang ku bayangkan. Dia sama seperti yang lain,
Perkataannya tajam, bahkan dia tega merebut jabatan ku di OSIS.

"Kok lo ngomong nya gitu, Rat?" Tanya ku sendu

"Gak usah sok polos gitu deh pertanyaan nya, ya lagian siapa sih yang mau punya Waketos pecun?" Ratih mencibir.

"Ya Tuhan, Rat. Gue kira lo beda nggak kaya yang lain. Gak bakal ngintimidasi gue. Ternyata sama aja" Aku menggeleng kan kepala tak percaya

"Sekarang mikirnya gini, deh, San. pecun kaya lo siapa yang mau peduli? Siapa yang mau kasih belas kasihan? Yang ada orang jijik, hidup lo hina tau gak, sih?"

Plak!!

Refleks, Tangan ku dengan lancarnya menampar pipi Ratih. Sungguh aku melakukannya diluar kesadaran. aku benar-benar tidak sengaja.

Ratih terkesiap mendapat serangan tiba-tiba. "Maksud lo apaan pake nampar gua segala hah?!" Suara Ratih naik dua oktaf.

"So-so-sorry, Rat. Demi Tuhan gue nggak sengaja." ucap ku tergagap "Ma-maaf, ya, Rat." Lanjutku seraya pergi meninggal kan ruang OSIS.

Aku kembali ke belakang gedung sekolah. Kembali meneteskan ribuan air mata. Entah sudah berapa banyak air mata yang lolos tanpa di perintah.

Seorang diri, ini lah aku.

Aku harus bagaimana?

Aku benar-benar tak sanggup menanggung semuanya seorang diri.

Apa aku harus diam saja?

Apa aku harus tetap diam disaat semua mulut menghujat ku?

Tidak!

Aku harus melawan!

Aku harus bangkit!

Aku harus membalas perbuataan mereka!

Aku harus membuat mereka merasakan apa yang aku rasakan!

Aku tidak akan tinggal diam!

Lalu aku harus balas mereka dengan apa?

Balik mencemooh?

Tidak mungkin!

Itu saja tidak cukup.

Nyawa mereka?

Ya!

Nyawa mereka!

Hembusan nafas mereka tidak pantas berada di bumi.

Hembusan nafas mereka harus ku hentikan!

Mereka semua harus lenyap!

Mati!

Ini pilihan ku.

Jika aku tetap diam, maka secara perlahan mereka akan membunuh ku.

Jadi?

Aku tidak mau dibunuh,

Aku yang harus membunuh!

Ini lah hidup,

Dibunuh, atau membunuh?

P s y c h o p a t hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang