13. Keputusan Berbalut Rasa (END)

57 10 0
                                    

Playlist:
1. Sheila on7- Pilihlah Aku
2. Yovie&Nuno- Janji Suci

.

.

.

Tak banyak kata yang mampu ku rangkai untuk mendeskripsikan rasa ini
Terlalu banyak rasa yang telah digores dalam relung jiwa
Mengenalmu sebuah anugerah yang kuterima

Hari ini kembali kita ukir sejarah
Tertawa untuk hati yang berbahagia
Melangkah demi cerita

Mungkin kaki ini terlalu jauh melangkah
Namun tak mengapa
Karena hati tahu kemana jalan untuk kembali pulang

Malam ini ku panjatkan sebuah harapan
Semoga selalu harmonis dalam balutan kasih sayang.

.

.

.

Bogor, Oktober 2018

Akan ada kala dimana saat kita berharap terlalu besar ternyata semua hanya harapan semu. Membiarkan hati terlalu lama terluka juga tidak baik. Namun kamu pasti tahu jika menyembuhkan hati yang terluka bukanlah hal yang mudah.

Dua sosok anak manusia kini sudah berpindah tempat. Dengan latar sebuah pegunungan yang asri dan udara sejuk menusuk kulit. Dataran tinggi salah satu kawasan ramai pengunjung saat libur tiba. Dua sosok anak manusia itu kini tengah menyesap segelas bandrek susu yang ditemani sepiring kacang rebus dan jagung rebus. Entah alasan apa yang akhirnya membawa mereka kemari. Hanya ada satu jawaban yang pasti, yaitu hati yang belum tuntas.

“Bagaimana kabar anak panti?”

Sosok perempuan dengan rambut sebahu itu tersenyum mengejek saat melihat wajah lelaki tegas di hadapannya.

“Kenapa bertanya? Bukannya kamu sering kesana?” senyum sinis perempuan itu tercetak jelas.

“Kamu tahu?” Kini kerutan dahi pada wajah lelaki tersebut semakin nyata.

“Mungkin kamu berharap kita akan bertemu secara kebetulan disana. Tapi kamu juga  harus tahu jika ada beberapa hal di dunia ini yang mungkin akan sulit untuk kamu gapai. Kamu boleh bilang aku egois, aku jahat, dan lain-lain.”

“Tapi aku hanya mau kamu tahu satu hal, saat dimana kamu memutuskan untuk pergi, saat itu pula hati aku memantapkan berhenti berdetak untukmu.” Perempuan itu menghembuskan nafasnya kasar sambil meneguk bandrek susu.

“Saya sudah berjanji untuk tidak buat kamu cemas, bukan?” Lelaki di sampingnya melirik perempuan tersebut sekilas sebelum menegak bandrek susunya.

“Keputusan aku bukan hanya karena profesi kamu. Mungkin memang itu salah satu faktornya, tapi ada banyak hal yang kupertimbangkan saat hati ini berhenti untuk kamu.” Perempuan rambut sebahu tersebut mentap lelaki di sampinya.

“Aku dan kamu mungkin hanya dua anak manusia yang ditakdirkan saling mencintai tapi tidak bisa bersama. Takdir meminta kita untuk jalan sendiri-sendiri tanpa saling menyakiti. Sekarang, kamu urus hidup kamu dan aku pun melakukan hal yang sama.”

“Tapi kenapa? Selama ini saya kurang apa?”

“Aku mohon jangan berdiam disana. Aku mohon biarkan orang lain masuk tanpa ada kamu disana.” Perempuan rambut sebahu itu menundukkan kepalanya menahan rasa pening yang menghinggapinya.

“Saya tidak bisa biarkan kamu begini.”

"Sudah lebih dari 5 tahun, Langit. Aku nggak bisa terus seperti ini." Perempuan itu menatap kedua manik mata lelaki di hadapannya.

"Kamu yang buat saya jatuh kedalam hatimu."

"Iya memang. Tapi itu sebelum aku tahu kalau jantung kamu bukan berdetak untuk aku."

***

Mentari bersinar dengan teriknya. Siang semakin menjelang. Di hamparan luas perkebunan, perempuan ayu dengan menggunakan caping sebagai pelindung kepalanya sedang asik memilah sayur-sayur yang sudah siap panen bersama beberapa para pekerjanya.

Hari ini adalah hari yang paling ditunggunya, hari pertama kebunnya mendapatkan hasil panen. Senyumnya semakin merekah saat melihat hasil tanamannya yang sempurna. Tanaman yang Ia rawat dengan sepenuh hati.
Perempuan ayu tersebut mengusap pelipisnya yang dibanjiri oleh keringat.

Panas kian terik membakar kulit. Perempuan ayu itu melepas jaket tipisnya untuk menguangi rasa panas dalam tubuhnya. Ia berjalan menuju saung yang terletak dekat dengan pintu keluar untuk menaruh jaketnya dan mengambil beberapa keranjang untuk hasil panennya.
Langkah kakinya terhenti kala melihat sepasang sepatu di hadapannya. Ia mendongak demi melihat sosok di hadapannya yang tiba-tiba datang.

"Siang, Gerhana." Sapa sosok di hadapannya dengan senyum yang merekah. Wajahnya terlihat lebih segar dari yang Ia lihat terakhir. Dengan mengenakan seragam kebanggannya, sosok di hadapannya berjalan menuju saung dan megambil keranjang.

"Saya boleh bantu kamu panen?" Perempuan ayu itu, Gerhana hanya dapat mengangguk dan berjalan menuju kebun sambil membawa keranjang.

"Hasil panen kamu baik, saya rasa ini enak." Lelaki itu tesenyum setelah memetik sawi putih dan meletakkannya di keranjang.

"Itu bukan modus kamu untuk aku bawain, kan?" Gerhana terkekeh melihat lelaki itu yang begitu antusias saat memetik hasil panennya.

"Saya suka sayuran, mungkin saya harus coba sayur hasil panen kamu."

"Sejak kapan kamu suka sayuran, Langit?"

"Sejak kamu yang selalu memaksa saya untuk makan sayuran hasil kebun kamu, dulu." Gerhana dan Langit terkekeh bersama saat mengingat kembali potongan cerita tersebut. Saat jaman SMA Gerhana yang selalu memaksa Langit untuk memakan hasil berkebunnya.

Tawa mereka usai, "Saya hari ini terbang sampai satu bulan kedepan."

Gerhana mengangguk dan tersenyum, "Hati-hati dan semoga kamu kembali dengan selamat." Langit berjalan dua langkah mendekat Gerhana.

"Saya harap saat kembali kesini, kamu sudah menemukan jawaban yang saya cari, Gerhana." Gerhana memetik sawi putih kembali sambil menghirup oksigen dengan perlahan.

Langit menyerahkan keranjang sawi putih yang sudah penuh kepada Gerhana.

"Saya pamit. Kamu jaga kesehatan, sampai jumpa bulan depan." Langit tersenyum sambil menatap kedua mata Gerhana yang dibalut kacamata.

"Kamu juga." Gerhana tersenyum tipis menatap Langit yang perlahan berjalan menjauh.

"Langit?" Langkah kaki Langit terhenti sejenak sebelum berbalik arah menatap Gerhana yang memanggilnya.

"Aku tidak bisa memberi kepastian apapun. Kalau kita berjodoh, semesta akan mempertemukan kita dengan caranya sendiri. Kalau kamu tidak sanggup, jangan pernah sekalipun kamu menunggu aku."

"Saya tunggu cara semesta menyatukan kita, Gerhana."

Lantas keduanya tersenyum. Langit berbalik arah dan melanjutkan jalannya yang sempat tertunda. Senyum di bibirnya mengiringi langkah menuju bandara.
Sedangkan Gerhana menatap kepergian Langit dengan senyum tipisnya. Bisakah ia menjalankan semua rencana Tuhan?

Mungkin untuk sementara hanya ini yang dapat mereka lakukan. Berjalan sendiri-sendiri menuju tujuan masing-masing. Jika mereka ditakdirkan untuk bersama, semsesta pasti memiliki rencana terbaik untuk mereka. Namun, jika mereka memang ditakdirkan tidak bersama semesta pasti memiliki rencana terbaik untuk mereka. Biarkanlah saat ini mereka berjalan sendiri-sendiri.

.

.

.

END

Gerhana&Langit (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang