Heart Broken

154 12 0
                                    

"Jadi kemaren gimana, Lun?" tanya Airin sambil duduk di sofa. Kakinya naik satu sambil menatap Luna jahil.

Kemarin dia ditelpon neneknya, karena kemarin sudah membawa mobil sampai larut malam. Gadis bermata biru itu dihukum tidak boleh pulang kurang dari jam sepuluh.

Untuk keluar saja Airin harus mengaku sebagai keponakan Surti. Perempuan itu menangis tersedu-sedu di hadapan para penjaga agar Airin dilepaskan.

Mulanya para penjaga curiga mengingat sejak sepuluh tahun terakhir Surti tak pernah membawa sanak-saudara, namun mereka langsung dibebaskan karena Surti mengatakan bahwa mereka dipanggil atasan.

Entah apa yang telah terjadi pada tubuh tua renta itu, karena saat itu Airin langsung pulang.

"Ya ... gitu deh," ujar Luna mengulum senyum. "Gitu gimana?" kini gadis itu menopang dagunya, dia tersenyum kala mendapati Luna yang tengah berseri.

Lunapun menceritakan semuanya secara detail, mulai dari kecanggungan yang mendera, Lintang membuka baju di depannya sampai membuat Airin yang mendengar berteriak histeris, sampai pernyataan bahwa Lintang adalah kawan masa kecilnya.

"Weh, Anju. Serius lo, trus, trus lo gimana?" tanya Airin tambah bersemangat.

Kemarin Lintang juga mengantar Luna pulang. Anya begitu senang mendapati cowok yang hampir sebulan tak pernah ke rumah itu kembali.

Anya juga sempat menawarkan Lintang masuk dan minum teh, namun cowok berjambul cokelat iu menolak. Dengan sopan akhirnya Lintang pamit pulang.

Sebelum pulang, Lintang mengajak Luna untuk bertemu di caffe dekat pantai. Luna mengiyakan dan segera masuk ke rumah.

Saat motornya sampai di luar gerbang, Lintang seperti mengucapkan sesuatu. Dia tak mendengar namun Anya mendengar. Kata Anya kata yang diucapkannya adalah Te Amo. Tapi Luna tak mau pusing-pusing menerjemahkannya.

* * *

Luna berdiri di depan gerbang, kata Lintang dia akan menjemputnya di sekolah. Seperti biasa Ryan menghampiri gadis berambut cokelat itu dengan senyuman khasnya.

"Haloha, cantik," sapanya sambil menyisir jambul. Luna tersenyum, lalu kembali mencari Lintang dari ujung jalan yang sekarang kosong melompong.

"Ayo, pulang," ajaknya menarik tangan Luna, gadis itu memberenggut, sesekali melirik ujung jalan yang masih belum terdengar suara deruan motor.

Lo dimana? Gue digangguin nih.

"Kamu kenapa, Lun?" tanya Ryan yang hanya diacuhkan. Selain bingung ingin berkata apa, sesekali dia berdesah untuk membuat Ryan tahu bahwa dia sebenarnya risih.

"Yan. Gue dijemput Bibi," kata Luka pada akhirnya, suaranya sedikit bergetar, mencoba memaksakan senyum manis. "Mending lo pulang duluan deh," lanjutnya mendorong lengan cowok tampan itu.

"Nggak papa, aku tungguin. Nanti kamu digangguin orang, lho." Luna berdecak kecil. Justru satu-satunya orang yang mengganggunya adalah Ryan sendiri.

"Serius deh. Lo tuh kalo mau balik, ya balik aja, gue masih belum mau balik," katanya bersidekap dada.

Luna mulai mengeluarkan umpatan kecilnya seperti biasa, gadis itu berkali-kali melirik jam yang terlingkar indah di tangannya.

Kalau dihitung, sudah satu jam gadis itu berdiri di depan gerbang, selama itu juga Ryan bertengger di motornya, enggan menggeser posisi barang sedetik. Berkali-kali Luna melirik ujung jalan, gadis itu sampai memasukan jarinya ke telinga, hanya agar telinganya bisa mendengar suara deru motor Lintang yang sesungguhnya hanya halusinasi.

Before Sunrise Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang