Pertemuan (2)

122 3 0
                                    

"cepetan! Ku tunggu di meja makan!".

.

.

.

.

.

.

.

.


"APA?" tanyaku cepat. Kesal..

Dua lelaki itu hanya menggelengkan kepala lalu menunduk dan beridiot ria dengan ponsel masing-masing. Dalam hati, aku tertawa senang. Bagaimana tidak? Membuat dua bocah iseng ini menjadi tunduk merasa bersalah adalah salah satu hal menyenangkan dan sulit di lakukan.

"Bunda.. lihat kelakuan mereka." Ucapku lagi. Bunda hanya tersenyum simpul, sedangkan Vater hanya memakan makanannya dengan lahap.

"bagaimana kabar Revan, ris?" akhirnya bunda memecahkan kehidupan sunyi ini. Chris langsung menengok ke arah bunda dan menghentikan aktivitas ketak ketik ponselnya,dan mencoba mengambil sesendok sayuran.

"Apanya bun? Fisik? Mental?" jawabnya. Sambil terkekeh.

"semuanya.."

"semua baik-baik saja kok, Bun. Cuma ya sama kayak Rio, keseringan pacaran dan ganti-ganti pacar. Tapi dia aman kok, Bun. Pergaulannya Chris pantau."

"sama kayak kamu dulu di Indonesia,ris. Ganti-ganti pacar juga. Masa kamu sebagai Mas-nya ngeledek adekmu sendiri. Kamu malah yang jadi panutan dua adik cowomu."

"emang tuh,Bun. Chris ga pernah sadar." Ocehku lagi yang kemudian disertai oleh umpatan bahasa Jerman, pastinya oleh Chris.

Vater seketika tertawa. Semua orang berhenti beraktivitas untuk menoleh ke arahnya.

"tha, kamu tau ga? Apa yang dibilang Chris barusan?" suara beratnya keluar diantara tawanya. Vater yang jarang berbicara, namun sebenarnya asik di ajak bicara.

"mana aku tahu, bahasa Jerman sederhana saja yang ku bisa dan ku ngerti Cuma ich liebe dich. Itupun tau dari Translator Online."

"Chris mengatakan.."

"VATER! NO!"

"kamu cerewet kayak bayi."

"Ohh.. gitu.."

"Hehehe..."

"chris.dan Rio juga." Ucapku "Gue mau nonton sesuatu. Lo berdua temenin ya" aku tahu yang dipikirkan mereka. Namun mereka sudah tidak bisa lari lagi dariku. Menyenangkan bisa membalas dendam. Apalagi terhadap dua lelaki ini. Dua sosok pelindung namun juga malaikat kematianku, demi kebaikanku.

Dan disinilah kami. Di ruang keluarga dengan kami duduk di lantai sambil membawa semangkuk besar PopCorn. Menonton film Drama. Aku tahu mereka berdua paling benci Drama percintaan. Sejujurnya aku butuh suatu referensi untuk penulisan novelku, walaupun aku akan berhenti dahulu dalam melakukan penulisan novel. Mungkin untuk waktu yang lama, aku harus mencari sebuah pekerjaan yang lainnya selain menjadi penulis novel. Mungkin aku akan mencoba menjadi sebuah pembisnis? Oh tidak, aku tidak suka itu.

"Kenapa Drama sih Ta? Kalau kamu mau ngebalas dendam, jangan kayak gini dong." Kesal Rio "lagipula yang ngumpatin kamu kan si Chris, gue engga."

"lu berdua sama aja." Jawabku.

Aku menonton tanpa bisa menengok kemanapun, sejujurnya aku tidak terlalu fokus pada tontonan. Aku hanya berpikir, bagaimana caranya aku bisa membunuh makhluk bernama Damian itu saat aku bertemu dengannya.

Mau ku tahan berapa kalipun, ku rasa air mataku tidak akan berhenti hanya dipelupuk. Air-air mataku sudah menyentuh kepermukaan pipiku. Aku menyadari satu hal. Dan akan aku lakukan, apapun resikonya.

Pada akhir drama, aku menghapus air mataku dan menengok kearah dua laki-laki yang sudah tertidur pulas. Aku membiarkan diriku mencuci wajahku yang mulai terlihat berantakan karena air mata sialan itu.

"Ta?" panggil Rio saatku keluar dari kamar mandi dekat ruang keluarga. Rio sudah berdiri tegap di depanku. Memandangku seakan tahu apa yang sedang aku rasakan. " Chris masih tidur."

Aku hanya sanggup mengangguk pelan sambil menahan perasaanku dengan menggigit bibir bawahku. Air mataku sepertinya akan terjatuh lagi. Rio sialan. Sialan.

"mau berapa kalipun lo ngebangun tembok itu, tembok kelemahan lo. Gue tahu. Sama halnya lo tau seberapa bodohnya gue jadi cowo. gue tau lo nangis, gue tau lo sehancur apa. Jangan pikir gue se..tolol itu untuk tahu keberadaan lo."

"sialan lo. Kenapa lo selalu jadi orang pertama yang nyadar sih? Gue benci."

"because, i'm your Bro." Dia menghembuskan nafas berat. Ia sudah tidak tahu harus mengatakan apa-apa lagi. "come" katanya sambil menawarkanku sebuah pelukan.

"kampret." Ucapku lagi sambil menolak pelukannya dan berjalan ke arah Chris yang masih tertidur dengan lelapnya dan seketika aku kembali ke kamar Chris dengan bantuan Rio, membawa beberapa buah bantal dan selimut untuk kami bertiga tidur di lantai yang dingin namun hangat akan kasih sayang.

Dua cangkir kopi Latte berada di hadapanku. Dan dengan sosok laki-laki bermata sangat tidak asing untukku. Mata biru yang sudah lama tak ku tatap lagi. Ya. Damian.

"mau sampai kapan kamu diam,Tha?" Damian mulai frustasi karena sejak kami datang ke kafe tempat kami bertemu, aku hanya diam saja, tidak mengatakan apapun kepadanya. Hanya dia yang berbicara, menjelaskan segala 'kebetulan' yang ada dengan pertemuannya dengan mantannya itu.

Perlu aku percaya bahwa itu kebetulan?

Kebetulan yang beruntun?

Oh, Man. Bahkan aku tidak tahu kapan dia kembali ke Jakarta.

"aku akan pergi." Ucapku akhirnya.

"pergi? Kemana?"

"dari hidupmu. Itu keputusanku, Damian. Aku rasa aku cukup. Kepercayaanku sudah kandas karena kamu."

"tapi tha.."

"aku harap kamu bisa nerima apapun keputusanku. Aku nunggu balasan kamu. Aku nunggu kabar kamu, damian. Aku bosan untuk menunggu. Aku hidup di dalam cerita indah yang mulai kandas. Seberapa sering aku ragu karena kamu. Seberapa lama aku harus nunggu lagi? Seberapa banyak lagi cerita bohong yang harus kamu tulis buat aku? Seakan semua bertubi-tubi dalam satu jalur." Ah. Dadaku sesak. "aku punya Hati. Aku tahu kamu juga punya. Tapi coba kamu pikir, gimana caranya aku bisa percaya kamu? Kalau kamu sendiri yang membakar tembok kepeercayaanku itu?"

"maksud kamu? Kamu mau kita putus?"

"Aku duluan. Take Care, Damian. Aku rasa kamu tahu jawabannya." Ucapku sambil tersenyum dan menatap mata itu mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Mungkin itu bisa dibilang 'hey Damian, i dumped you!'

Selamat tinggal ketulusan.

Selamat tinggal penantian.

Selamat tinggal Damian's World .

MoccacinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang