Old Town's Story

323 5 0
                                    

Aahh... Rio.

Seperti kata Rio saat pernikahan adik kesayangannya itu, ia akan mengajakku ke suatu tempat yang akan membuatku bernostalgia. Apalagi kecuali, KOTA TUA!  

Aku dan Rio datang kesana dengan bus TransJakarta yang hanya perlu mengeluarkan tiga ribu lima ratus rupiah (sekali perjalanan). Kami naik Bus TransJakarta dari Halte awal di Blok M. asal kau tahu saja ya. Bus itu ada tulisan 'BLOK M - KOTA' dan tujuan kami adalah ke halte bernama Kota itu. 

Sambil menunggu Bis, aku menge-check Hapeku, siapa tau ada kabar dari Damian. Ya, tentang kerjaannya di Perancis itu. Ia ke bandara tadi subuh. Tanpa mengepak baju dahulu.  

"Aku bisa membelinya di Sana" 

Katanya malam itu. Dan aku adalah wanita terbodoh yang pernah ada.  

Kenapa aku tidak melarangnya? Impossible. Bahkan ia memiliki ambisi yang lebih untuk pekerjaannya ketimbang aku. 

Kenapa aku tidak ikut saja dengannya ke sana? Sejujurnya mau sih. Namun aku tidak mau melihatnya bekerja tanpa henti. Dan itu akan mempersulit hidupku. 

Akhirnya bis yang kami tunggu datang juga. Aku melangkahkan kakiku dengan hati-hati, apalagi banyak orang yang ikut naik ke bis ini. Aku mendapat duduk di bagian pinggir 'Ladies only' dan Rio hanya berdiri di samping papan pemisah tempat duduk 

Dari halte ke halte, semakin banyak pasangan kaki yang melangkah masuk kedalam TransJakarta, dan semakin lama Rio terdesak, begitu juga aku. Walau aku lebih beruntung daripadanya. 

Sampai akhirnya di halte Harmoni, setidaknya Transjakarta ini menjadi lebih banyak oksigen yang dapat ku hirupi. Walau sudah longgar, Rio tetap berdiri memandangi jalanan kota, ia berdiri pada pintu yang tidak berfungsi. 

"Akankah kau akan melupakan hari ini?" tanyanya tiba-tiba saat bis ini berhenti di sebuah halte. 

"oh Yo, ga mungkinlah. Kita ke Kota Tua setiap tahunnya. Walau tahun ini hanya kita berdua." Aku dan yang lainnya memang sering ke Kota Tua. Sedikitnya sekali setahun. Karna, disanalah kami bertemu, dan disanalah kami menenangkan pikiran kami. 

Aku mengedarkan mataku keseluruh penjuru bis. Dan disana aku melihat ada dua anak remaja perempuan. Yang satu berkulit sawo matang, namun lebih tinggi daripada yang berkulit putih mulus. Sebenarnya aku binggung. Kenapa bisa mereka berteman? Padahal dengan jelas sekali, perempuan yang berkulit putih itu adalah anak yang Famous. 

Mereka berdiri pas di depanku. Dan dengan asiknya berbicara tentang anak sekolah mereka. Entah itu cowok, artis, apalah yang aku tidak mengerti. Namun aku kagum juga pada si kulit sawo matang itu. walau matanya menyatakan kepedihan, ia masih bisa memaksakan senyum dan tawaan, namun seperti natural, tanpa adanya kebohongan di tawaannya itu. 

Akhirnya aku sampai di Halte Kota, aku dan Rio keluar dari bis dan berjalan kebawah, dan tembus di seberang museum Mandiri. Banyak penjual makanan disini, dan tidak lupa banyak pengunjung juga, terutama anak SMA. Mobil-mobil yang berlalu lalang tanpa henti, membuat aku dan Rio menjadi kesulitan untuk menyebrang. 

"Mau sampai kapan kita ga nyebrang-nyebrang yo?" tanyaku ga sabaran. Dalam hatiku, aku merutuki mobil-mobil itu. 

"Sampai ada space buat kita jalanlahhh babe" katanya enteng. Hingga tidak lama kemudian aku dan Rio dapat menyebrangi jalan.  

Matahari teriknya memanggang kulitku, namun justru inilah yang aku sukai. Sengatan sinar Matahari. Tak lama, sebuah topi mendarat di kepalaku.  

"gue ga mau liat adek gue mati kepanasan." Rio memandangiku sambil berjalan ke arah daerah Museum Fatahillah. Sepanjang jalan itu, ada penjual gelang, kalung tali, penyewaan jasa foto, bahkan sampe jasa Tatopun ada. Aku mengacak isi tasku untuk mengambil sebuah SLR yang aku dapatkan saat aku kuliah. Bukan DSLR loh ya.. awalnya aku ingin membeli DSLR, tapi lebih baik aku membeli baju dan sepatu baru Hahaha.. 

MoccacinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang