Damian's side
Siapa sih yang engga kaget diputusin tiba-tiba?
"aku punya Hati. Aku tahu kamu juga punya. Tapi coba kamu pikir, gimana caranya aku bisa percaya kamu? Kalau kamu sendiri yang membakar tembok kepercayaanku itu?"
Aku masih terpaku di meja tempat Thatha meninggalkanku. Dan aku tetap disana menyeruputi kopiku yang kupastikan sudah menjadi dingin karena kubiarkan sedari tadi terutama aku di dalam ruangan ber Air Conditioner.
Dia bilang aku punya hati. Ya, aku punya. Kalau tidak bagaimana mungkin dalam waktu singkat aku tergila-gila dengan segala yang ada pada dirinya? Bahkan disaat ia tertidur sekalipun, diwaktu pertama kali aku menemukannya di kafe ini. Wajahnya damai, tapi bukan itu alasanku. Namun tidak lain dan tidak bukan adalah, karena aku pribadi telah mengetahui Tha-tha lewat Papanya. Awalnya aku hanya berbasa basi dengannnya —Thatha's Dad― tapi siapa sangka kalau aku justru bisa menemukannya di suatu tempat sederhana?
Bahkan ingatanku masih ingat bagaimana pertama kalinya ia memarahiku karena aku cemburu dengan kakak gilanya itu. Ah ya, Rio.
"Are you out of your mind!" setidaknya inilah kata pertama yang kudengar dari mulut Alex. Dan kurasa itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Dan tidakkah dia punya sedikit sopan santun?
"Am I?. I don't even know why she dumped me like that."
"Geez. Bahkan kamu ga tau salah kamu? Astaga, tak kusangka.." Alex menatapku seakan dia siap membunuhku disini. Memang apa salahku?
Aku menatap Alex tidak mengerti. Ya baiklah, aku tahu aku salah dalam segala hal, terutama dengan tidak memberi kabar bahwa aku sampai di Indonesia. Tapi aku tidak melakukan hal yang lain.
"hey, big man. Kamu bilang apa? Kamu tidak melakukan apa-apa? Bahkan kamu saja tidak sadar kamu berbicara itu kepadaku." Ocehnya. Oh bagus, makin banyak yang mengocehiku hari ini. "Kamu, dan your fuckin' ex girlfriend...."
"Wait! What?"
"Ah. Sudahlah aku mulai lelah mendengar semua kagetanmu yang tidak bermutu."
Alex meninggalkanku di Kafe sendirian. Okay. Dua kali. Dua kali aku diperlakukan seperti ini. Mari kita jujur. Memang aku dan mantan pacarku itu sempat, nyaris lebih tepatnya terbawa suasana. Dan memang saat melihatnya aku menjadi ingin melakukan sesuatu di luar kontrol otakku. Oh Tuhan, bahkan sekarang aku membenci diriku sendiri.
Jam tangan bahkan sudah menunjukkan 02:26. Kutatapi layar ponselku.
Kosong.
Hanya ada sebuah pesan email tentang pekerjaan. Sebelum ini. Mungkin setiap ada suatu hal, bahkan hanya bernafaspun akan ada pesan darinya, telpon darinya, voicemail, ataupun suatu undangan untuk videocall.
Sepi. Hampa. Ada yang hilang disini. Bisakah aku mendapatkannya lagi?
Baiklah aku tahu, itu pertanyaan terbodoh yang pernah ada. Itu adalah pertanyaan yang kujamin adalah pertanyaan terhina yang terlintas olehku sekarang.
Pukul 04.00. maka, kuteguk satu gelas alkohol yang sedaritadi kudiamkan.
Deringan ponsel di saku celana bahanku membuatku langsung menoleh. Sebuah telpon dari Thatha! Aku harus bagaimana?
Bodoh, tentu saja aku harus menjawabnya.
"Halo?" suara itu. "Damian?"
"Ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Moccacino
Teen FictionLelaki yang bermata Biru indah itu, cowok yang menatapku hangat dengan segala magic yang dia punya. aku mengagumi dirinya. lelaki impian semua kaum Hawa, lelaki yang menggiurkan lidah. Pertemuan awal, lalu kami berkenalan dan segala hal yang memicu...