Bab 1 : Kabut Gelap

219 19 7
                                    


Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan.

-Kahlil Gibran-

Jakarta, 25 Juni 2016

Pagi ini begitu cerah, raja siang pun telah menggantikan tugas dewi malam. Namun keadaan di sebuah ruang Kamar VVIP satu-satunya yang berada di lantai teratas dari bangunan salah satu rumah sakit swasta di Jakarta terasa begitu kelabu.

Mesin Electro Cardio Graph yang bekerja sebagai pendeteksi detak jantung itu masih terus bekerja dan menampilkan grafik-grafik kerja jantung yang menandakan masih ada kehidupan dari seorang gadis yang terbaring lemah di atas bangkar rumah sakit .

Alat ventilator masih terpasang dengan baik untuk membantu sang gadis bernapas. Mata yang berhias bulu mata panjang nan lentik itu terpejam dengan erat seakan enggan untuk melihat keindahan dunia. Wajahnya pucat pasi seputih kapas pun semakin menirus, bibir merah ranumnya pun kini berwarna pink pucat. Perban masih terlilit dengan rapi di kepala gadis itu.

Seorang lelaki berwajah keturunan Arab dengan alis tebal dan bibir merah alami duduk dengan wajah lelah di samping bangkar tempat gadis itu tertidur damai. Lelaki itu menghembuskan napas dengan berat dan terus menatapi wajah damai gadis itu.

"Le, dulu kamu mau aku cepat-cepat menyelesaikan kuliah kan? Kamu mau Aku tidak membuang-buang waktu lagi. Aku sudah lulus loh, Le. Kamu tega ya gak datang ke acara wisudaku, kamu malah lebih memilih tidur disini. Lea, Aku sudah kerja loh di perusahaan Abi, ya jabatanku memang masih rendah sih Le, tapi Aku bersyukur karena Aku ingin berusaha dengan usahaku sendiri, agar suatu saat nanti ketika Aku menggantikan posisi Abi, Abi bisa bangga dengan kerja keras Aku. Kamu memimpikan apa sih, Le? kok gak mau bangun-bangun" kata lelaki itu dengan suara lembut dan senyuman sendu.

Kini bercerita panjang lebar mengenai hari-hari yang dijalani lelaki itu sudah menjadi rutinitas wajib baginya. Ia ingin suatu saat nanti gadis itu bisa mendengar apa saja yang Ia katakan kemudian membuka matanya.

Lelaki itu menyandarkan punggung tegapnya pada sandaran kursi dan mengusap wajahnya frustasi.

"Mau sampai kapan kamu menghukumku dengan tidur panjangmu yang begitu menakutkan ini, Thalea?" ujarnya dengan suara serak menahan tangis. "Apakah enam bulan tidak cukup bagimu untuk menghukumku dengan kesunyian yang kau berikan padaku? Kumohon, bangunlah!" lirihnya memohon pada gadis itu. Tak ada satu pun kata yang terlontar dari gadis itu. Bibirnya terkatup rapat seperti mata indahnya yang sampai detik ini pun enggan terbuka.

"Maafkan aku, Thalea. Aku menyesal. Aku sungguh menyesal. Mau sampai kapan kau memejamkan mata indahmu itu? Mau sampai kapan kau diam membisu seperti ini, Thalea?" ucapnya dengan suara kencang menahan amarah serta sesak yang bergejolak di dalam dadanya.

"Aku mencintaimu, Thalea. Walaupun cinta ini datang terlambat, namun Aku tak akan pernah menyesali. Cinta ini sungguh murni untukmu, Le. cepat bangun ya, Le" Lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu pun menggenggam tangan sang gadis dan membawa tangan kurus itu untuk dikecupnya. Setetes air mata kesedihan dan kesengsaraan itu meluncur dengan mulus di wajahnya yang saat ini mulai ditumbuhi bulu-bulu halus yang tak terawat.

Pintu ruangan itu terbuka, menampakkan sesosok lelaki tinggi berkulit hitam manis masuk dengan wajah prihatin menatap lelaki berwajah Arab yang masih dengan setia menggenggam tangan gadis yang tertidur pulas.

"Afwan, pulang dan berbenah dirilah. Mau sampai kapan kamu seperti ini?" ujar lelaki hitam manis itu disertai gurauan.

"Aku tidak bisa meninggalkan Thalea, Dante. Sudah cukup lima hari kemarin aku meninggalkannya untuk mengurus urusanku di kantor dan sekarang aku ingin menemaninya selama dua hari ini. menghabiskan akhir pekan dengannya" Afwan menjawab tanpa menatap Dante dan tetap memfokuskan pandangannya pada Thalea.

"Setidaknya pulanglah sebentar, mandi dan makan. Kalau kau sakit, bagaimana mungkin kau bisa menemani Thalea? Kau tenang saja ada aku dan Bang Raihan yang akan menjaga Thalea selama kau pergi untuk berbenah diri" ucap Dante tulus.

Afwan membenarkan perkataan Dante. Ia pun meletakkan tangan Thalea kembali ke atas bangkar kemudian bangkit dari kursi dan berjalan menuju Dante yang masih setia berdiri di depan pintu yang tertutup rapat.

"Kau benar, aku akan mandi dan makan. Titip Thalea, Dante. Zuhur nanti aku akan kembali" ujar Afwan yang diangguki kepala serta senyuman hangat milik Dante.

Tubuh tinggi dan tegap Afwan pun hilang dibalik pintu ruang ICU yang perlahan tertutup kembali.

Dante berjalan dengan perlahan, kemudian duduk di tempat Afwan tadi menjaga Thalea.

"Le, mau sampai kapan kamu hukum si Afwan? Sudah enam bulan loh Le, kamu tidur nyenyak kayak gini! Memangnya kamu mimpi apa sih? Terus di mimpi itu memang ada laki-laki yang gantengnya ngalahin aku, ya? abis kamu betah banget sih meremnya" ucap Dante dengan suara lembut dan guraunya.

"Lea, Dandee sama Sarah juga kangennnnnn banget sama kamu. Kamu gak kangen kita ya, Le? Sahabat macam apa kamu kok tinggalin kita lama banget" sungut Dante dengan sebal.

"Kita tuh kangen sama cerewetnya kamu, nyebelinnya kamu. Kita kangen sama Thalea si tukang ngomel. Thalea yang kalau ngomong itu kayak kaleng rombeng yang digantung ditiang abis itu ditarik-tarik dan ngeluarin suara yang berisik banget" ujar Dante bersemangat namun disertai setetes air mata kesedihan.

"Le, kalo kamu marah sama Afwan ya sama Afwan ajah dong. Aku dan keluarga kamu ya gak usah kamu bawa-bawa juga. So, bangun ya jangan kelamaan tidur kayak gini!" ketus Dante.

"Le, kamu ingat gak beberapa bulan yang lalu kamu pernah ngomong sama Aku kayak gini 'Kejam banget sih kamu! Nanti kalo Aku meninggal kehabisan napas gimana? Kalo Kamu histeris kan bisa gawat' terus aku jawab 'Gak.Akan.Pernah.' ya kan, Le? Kalau sekarang aku tarik perkataan aku boleh gak, Le? karena saat ini Aku bukan hanya histeris, tapi juga nyaris gila karena kamu lebih memilih tinggal di alam mimpi dibandingkan di dunia nyata bersama kami" ucap Dante menyesal.

Tak ada sahutan, hanya suara dari mesin pendeteksi jantung yang bergema di ruangan putih itu. Dante menundukkan kepalanya dan perlahan setetes air mata mengalir disusul dengan tetesan air mata yang lainnya.

****************************

ANONYMOUS (Re-Write & New Tittle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang