Menyerah

514 62 26
                                    

Warning. Typo bertebaran. Berusahalah menjadi pembaca yang bijak. Stop silent readers. Terimakasih.

****
Sudah hampir seminggu ini aku menghindar dari Rega. Mulai dari pesan, panggilan bahkan bertatap muka. Hampir tiap malam Rega selalu mengirim pesan dan panggilan padaku namun tak pernah kubalas. Seperti malam ini, hujan masih mengguyur. Hari ini aku tak ada kelas, dari pagi sampai sekarang waktuku hanya kuhabiskan membaca novel kesayanganku.

Hampir lima kali ponselku bergetar mendadakan ada panggilan, itu pasti Rega. Dari tadi dia selalu mengirimku pesan tapi tak ada yang kubalas. Getar ponselku berhenti. Aku meraih ponselku dan kulihat ada lima panggilan tak terjawab dan dua puluh tujuh pesan. Aku membaca pesan tersebut, tak ada yang menarik. Namun mataku tertuju pada salah satu pesan yang dikirim Rega.

From: Rega
Mau sampai kamu kayak gini? Diemin aku kayak gini, Bi?
Angkat panggilan aku. BINTANG!

Pertanda buruk. Rega beneran marah. Aku sedikit khawatir sama Rega. Dia itu kalau udah marah, gak bisa mikir. Bisa-bisa semua orang kena imbasnya. Ponselku kembali bergetar, panggilan dari Rega. Secepat kilat aku menggeser layar.

"Hal...." Ucapan ku terhenti karena Rega dengan cepat menyambar ucapan ku. "Sayang, kamu dimana? Kenapa kamu ngehindar dari aku? Kamu gak tau aku tuh khawatir setengah mati sama kamu. Aku gak suka kamu kayak gini. Kalau aku punya salah kamu bilang sama aku. Jangan kayak gini, malah ngehindar. Sayang, kamu denger gak sih yang aku omongin. Kok diem aja sih?" Cecarnya langsung dengan nada sedikit kesal, mungkin karena gak ada respon dariku. Gimana mau ngejawab kalau dianya sendiri gak berhenti ngomong. Ih dasar Rega.
"Gimana aku mau jawab sih, kamu tuh ngomong kayak kereta api tau gak. Gak ada jeda." Aku mendengus kesal. Gimana gak kesal coba. Kudengar dia menghela nafas. "Iya-iya maaf yaaa. Kamu dimana?" Tanya nya dengan nada yang lebih lembut. Nah ginikan enak dengernya. " Dirumah. Kenapa?" Jawabku dengan suara sedikit bingung. Perasaan ku udah gak enak ini mah. "Hujan udah reda kan? Temui aku di cafe biasa. Kita bicarakan baik-baik masalah ini. Kalau kamu diam dan ngehindar kayak gini, gak bakal selesai sayang." Tuhkan, udah feeling sih pasti mau bilang kayak gini. Aku tuh males banget keluar sebenernya. Pengen tidur. Tapi kalau perintah dari Rega, mana bisa ngelak. Dia kenapa sih? Aneh banget. Pake ngomong di lembut-lembutin gitu lagi. Gak pas banget sama sifatnya Rega. Ya ampun aku maunya apasih. Rega gak lembut salah, lembut salah.
"Yaudah aku mau siap-siap dulu. Aku matiin yaa panggilannya." Baru saja aku mau memutuskan panggilan, suara Rega kembali terdengar.

"I miss you and I love you honey." Aku tersentak, badanku dingin jantungku berdetak cepat. Ada gelenyar aneh, rasanya kupu-kupu dalam tubuh ku sedang beterbangan. Senyumku mengembang. Rega bener-bener aneh. Tapi membuatku senang. "Kamu diem aja nih? Aku nunggu jawaban kamu loh." Rega bersuara dengan sekidit candaan. Lamunanku berhenti dengar suara Rega, ih merusak suasana.
"Ih apaan sih Ga, aku tutup yaa. Bye." Aku buru-buru memutuskan panggilan Rega. Salah tingkah ini mah. Aku memegang dadaku. Eh gila aja efek Rega besar banget ternyata. Aku segera bangkit dari tempat tidurku untuk bersiap-siap.

****
Aku sudah sampai di cafe yang Rega maksud. Mataku mengitari sisi ruangan di cafe, yaap aku mencari Rega. Aku melihat seseorang dengan menggunakan baju kaos berlengan panjang bewarna biru dongker yang digulung seperempat lengan dan dipadukan jeans dengan warna senada dan sneakers. Tampan, itulah yang kulihat. Rega benar-benar tampan, wajar saja banyak yang mengagumi dia. Aku menghela nafas, lagi-lagi fikiran itu menghantui.

Aku berjalan mendekati Rega. Rega masih belum menyadari kehadiran ku, saat ini dia tengan menunduk memainkan ponselnya. "Rega." Panggilku saat langkahku mulai mendekati Rega. Rega menegakkan kepalanya, saat itu pandangan kami bertemu. Aku berhenti di depan meja tepat dihadapan Rega. Rega bangkit dari sofa yang didudukinya dan melangkah mendekat dengan senyum tipis yang Ia tujukan kepadaku. Aku membalas senyumnya dengan menampilkan cacat pada pipiku.

Saat Rega berada tepat dihadapanku Ia langsung mengulurkan tangannya untuk meraihku kedalam pelukkannya. Aku membalas pelukan dari Rega, karena aku sangat-sangat merindukannya. Kusurukkan wajahku ke dada bidang Rega. Rega semakin mengeratkan pelukkannya dan mencium puncak kepalaku. Aku merasakan hangat, sesaat itu aku tersenyum. Aku memang sangat suka jika Rega mencium kepalaku. Itu membuktikan bahwa dia menyayangiku. Begitulah teori yang kubaca dibuku CINTA milik Arina.

"Aku kangen kamu. Udah seminggu loh kamu gak mau nemuin aku." Ucapnya sambil meletakkan pipinya keatas kepalaku. Aku juga kangen kamu Ga. Tapi kamu nyebelin. Sungutku kesal dalam hati.

"Kamu diem aja nih?" Rega memegang kedua pundakku, agak menjauhkan diriku dengan dirinya tanpa benar-benar jauh. Aku masih memengang pinggangnya. "Duduk dulu Ga. Aku capek tau." Aku memasang wajah memelas. Caraku ampuh manteman. Rega terkekeh, dan mengacak rambutku lalu Ia menarik lenganku menuju sofa yang didudukinya tadi.

Aku duduk tepat disampingnya Rega, aku sungguh gugup dalam suasana kayak gini. Aku menunduk dan meremas ujung baju yang kupakai. Sedangkan Rega dia duduk dengan tangan berada di pinggangku. Aku tau dari tadi Rega memerhatikanku.

"Kenapa hmm?" Suara Rega terdengar, memecahkan keheningan diantara kami. Aku mendongak menatap Rega. Aku sedikit tersentak karena posisiku dan Rega sangatlah dekat. Hidung kami hampir bersentuhan.

"Kenapa apanya?" Aku menjawab dengan sedikit bingung. Yaiyalah bingung dia tiba-tiba nanya kenapa. Apanya yang kenapa coba? Rega emang aneh.

"Kamu kenapa ngehindarin aku? Aku ada salah sama kamu? Kamu bilang sama aku harusnya. Bukannya kayak gini malah ngehindar. Itu buat aku gak tenang tau gak." Rega terlihat sangat gusar, dia meremas rambutnya sendiri. Terlihat frustasi. Dia kenapa sih?

"Aku takut kamu ninggalin aku, kayak dulu kamu pernah minta putus dari aku. Kamu harus tau kalau aku gak akan pernah ngelepasin kamu. Kamu pacar aku dan akan selalu seperti itu." Sepertinya dia membaca yang ad dipikiran aku deh.

Yaelah inimah namanya pemaksaan. Terus kalau aku pacar dia. Carissa mau di gimanain? Aku hanya diam tak membalas ucapan Rega. Aku juga bingung mau ngejelasinnya gimana. Akhirnya aku cuma nunduk diem doang. Rega masih setia memperhatikanku. Ih risih Rega.

"Terus sebelumnya aku kan minta kamu nemuin aku di kantin. Kenapa kamu gak datang. Kamu jawab pertanyaan aku." Dia mengangkat dagu ku, dia mengubah posisi duduknya menghadap kearahku. Dia menatap mataku dalam.

Aku menghela nafas. Kayak nya aku emang harus ngomong deh. Aku gak bisa gini terus, Rega terlihat menyayangi Carissa. Aku gak bisa menghalangi hubungan mereka. Kalau Rega bahagia sama Carissa aku ikhlas ngelepas dia. Huffft gugup beneran ini mah.

"Waktu itu aku udah di kantin buat nemuin kamu. Tapi aku lihat kamu sama temen-temen kamu lagi bareng sama Carissa. Disitu aku lihat kamu sama Carissa asik sendiri. Kamu megang kepala Carissa. Aku gak mau ganggu kamu, makanya aku langsung pergi dari situ." Terlihat perubahan raut wajah Rega. Dia tegang banget terlihat dari raut wajahnya yang mengeras.

"Aku gak mau jadi penghalang hubungan kamu sama Carissa. Aku lihat dari kamu memandang Carissa, membuktikan bahwa kamu menyayangi dia. Aku sayang sama kamu Ga, tapi aku gak bisa gini terus. Kebahagiaan kamu bukan aku."

"Aku nyerah sama kita. Aku mundur, aku ikhlas kamu sama Carissa." Aku memegang pipi kanan Rega yang terasa dingin. Wajahnya memucat, tangannya terkepal menampilkan urat-uratnya yang bertimbulan.

Rasanya aku ingin nangis, melihat kisah cintaku yang udah aku jalin selama empat tahun harus berakhir. Aku menyayangi Rega bahkan aku mencintainya. Namun aku gak bisa egois,mereka saling menyayangi. Aku sudah terlalu sering melihat kedekatan Rega dengan Carissa yag sangat kuyakini bukan dekat biasa.

Aku masih menatap Rega yang juga menatapku dengan tajam. Matanya merah menahan amarah. Aku menurunkan tanganku yang berada di pipinya dan mengarahkan ke tangannya yang terkepal. Tangannya juga terasa dingin. Kami masih diselimuti diam. Aku menatap mata Rega yang menatap ku tajam. Terlihat dari matanya ada sorot kekecewaan dan kesedihan disana. Namun aku tak mau berkhayal terlalu tinggi bahwa Rega sedih karena aku yang menyerah dengan KITA. Aku dan Rega.

****

Love BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang